Wardah Hafidz Aktivis sosial | Tokoh Inspiratif

Wardah Hafidz Aktivis sosial

Gambar Wardah HafidzWardah Hafidz (lahir di Jombang, 28 Oktober 1952; umur 65 tahun) adalah seorang aktivis
Indonesia.

Masa kecil

Lahir dari keluarga santri yang kental di Jombang, Wardah sejak kecil sudah banyak memupuk ide yang cenderung banyak berbeda pandang dengan keluarga dan lingkungannya. Latar belakang keluarganya banyak memberikan perhatian kepada agama. Kakeknya seorang kiai yang sewaktu zaman pendudukan Jepang sudah memiliki pesantren.

Ayah Wardah melanjutkan aktivitas serupa. Lulusan Pondok Pesantren Tebuireng itu adalah seorang penghulu kampung yang banyak berkecimpung melayani masyarakat dalam hal pendidikan keagamaan. Wardah menyebut sebagai keluarga santri, keluarganya dengan Gus Dur dan Cak Nun memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.

Pendidikan

Di keluarga Wardah, ada peraturan tidak tertulis bagi sepuluh orang anak-anak orang-tuanya agar bersekolah di pendidikan Islam minimal hingga tamat sekolah menengah. Lelakinya di kirim ke Gontor, perempuan-nya ke Mualimat di Yogyakarta, setelah sebelumnya sepuluh anak itu menamatkan pendidikan SMP mereka di madrasah milik keluarga di Jombang. Syukur-syukur anak-anak itu lalu mau melanjut-kan studi agama lebih tinggi.

Ide itu sejak awal mencemaskan Wardah. Entah karena alasan apa, Wardah sejak remaja sudah tidak terlalu bergairah dengan ide penyeragaman seperti itu. Ia suka bilang kepada orang-tuanya bahwa dirinya memilih sekolah umum saja. Tentu saja ide itu kontan mengalami penolakan.

Sewaktu dikirim ke Mualimat, Wardah banyak menangis tidak setuju. Orangtuanya tidak surut mengalah. Menyerahlah Wardah. Di sekolah itu ia merasa tidak pas dengan banyaknya aturan-aturan.

Di sekolah itu Wardah menyebut dirinya sebagai "pembuat onar". Ia jago dalam bahasa Inggris tetapi ogah-ogahan terhadap bahasa Arab. Bukan karena bahasa Arabnya, tetapi bagian dari pembangkangan akan tradisi keluarganya. Di Mualimat ia sekolah selama enam tahun. Lepas dari sana, ia bertekad memulai pilihannya sendiri.

"Saya sudah melakukan apa yang keluarga inginkan. Kini saya mau melakukan apa yang saya inginkan," ujar Wardah ketika keluarganya mulai menganjurkan dirinya masuk sekolah tinggi agama.

Karier

Diam-diam Wardah merencanakan pilihan bersekolah di universitas. Masuklah ia ke IKIP Malang mengambil sastra Inggris. Bersekolah secara serius lalu mulai pengalaman mengajar dan menjadi instruktur bahasa di sekolah penerbangan Curug. Ia bosan menjadi guru. Kembali dipanggil menjadi dosen di almamaternya. Ia ragu, tetapi tawaran bersekolah ke Amerika Serikat mengambil master sosiologi sulit ditolaknya. Pulang dari AS, Wardah pulang mengajar kembali sebagai bagian dari ikatan kerja. Lagi-lagi mulailah ia mengalami kesumpekan atmosfer hidup.

Wardah tak suka ketika ditawarkan permohonan menjadi anggota Golkar saat mengisi formulir PNS. Ia pula tak suka dengan lingkungan kerja yang menurutnya terlalu banyak berbicara hal-hal nonakdemik seperti mobil, jabatan, beli tanah, proyek ini-itu ketimbang urusan keilmuan.

Di kampus, Wardah terkenal paling suka mangkir mengenakan seragam ala pegawai negeri. Suatu hari ia menghadap ke rektorat. Meminta izin mundur. Pihak kampus mencoba menahan dan memaafkan kebengalan Wardah. Wardah bersikeras. Ia tak mau mendapatkan pengecualian, karena bersalah dengan sistem yang ada. Lagian di pikirannya, ia memang sudah tak betah dengan kehidupannya yang kurang menantang. "Saya tidak akan kemana-mana kalau di sini," ucapnya merasa.

Wardah lalu mental ke Jakarta. Melakukan apa yang disebutnya sebagai "gelandangan". Awalnya ikutan proyek penelitian LIPI soal Etos Kerja Pegawai Negeri dan Weltanschaung Ulama bersama konsultan peneliti Martin van Bruinessen. Lalu ia mulai masuk LSM terlibat urusan isu perempuan.

Dunia aktivis

Pada tahun 1993 Wardah mulai terlibat di aktivitas kaum miskin kota melalui penelitian kaum miskin kota di Jelambar Baru, Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Ekonomi Indonesia ketika itu sedang menanjak. Bonanza ide pembangunanisme dilakukan seraya diikuti praktik penggusuran-penggusuran

Wardah mulai melawan karena melihat banyak ketidakadilan dan kemelaratan yang diabaikan negara. Ia mulai sensitif dengan kompleksitas kemiskinan kota. Karena berusaha mengubah keadaan, memulihkan hak-hak kaum miskin agar lebih kritis dan ngerti haknya ia banyak menuai permusuhan dan dianggap provokator.

Suatu hari tempat berkegiatannya di Jelambar diserbu preman-preman yang tidak suka dengan keberadaan Wardah. Wardah menunjukkan kualitas mentalnya. Ia memang tidak pernah mengambil pusing dengan banyak suara minor tentang dirinya yang suka dituduh menjual isu kemiskinan.

Paska Soeharto jatuh, bersama sejumlah teman berniat memfokuskan diri kepada isu kaum miskin kota secara high profile. Lalu ia mendirikan UPC (Urban Poor Consortium). Organisasi yang dibidaninya dengan manajemen bersifat partisipatif.

Sumber : Wikipedia