Kapal dengan lambung bertuliskan “Veendam” itu mengangkat sauh dari New York. Hari itu tanggal 11 Juni 1948. Di atas dek, seorang pemuda berumur 30 tahun membayangkan Batavia, Netherland East Indies. Di dalam kopernya tersimpan sehelai surat dari mantan perdana menteri Sjahrir.
Anak muda kelahiran San Francisco itu adalah lulusan Universitas Stanford. Ia menyelesaikan tesis masternya mengenai persoalan Tionghoa di Indonesia. Dan ia sedang menyusun disertasi di Universitas John Hopkins tentang nasionalisme Indonesia. Ia bermaksud melakukan penelitian lapangan di kancah yang tengah bergolak tersebut. Saat itu Amerika belum memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Tak ada kedutaan besar dan konsulat Indonesia di New York.
Untung, pada musim semi 1948 itu, Sjahrir bersama asistennya, Soedjatmoko Mangoendiningrat, mampir ke New York untuk sebuah keperluan pidato di PBB. Anak muda itu mengunjungi apartemen Sjahrir. Dan “sang Kancil” memberikan sehelai surat untuk Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri Indonesia—sebuah “visa” untuk memasuki teritori yang dikuasai tentara Republik. Perasaan girang meliputi anak muda itu. Namun rekan-rekannya mengingatkan bahwa “surat” itu masih belum cukup. Supaya lebih aman, mereka menyarankan agar di Indonesia dia juga bertugas sebagai wartawan. Akhirnya ia mendaftar di sebuah kantor berita tak begitu terkenal, Overseas News Agency, yang memiliki kantor di New York, dan mendapat kartu pers.
Di dek kapal, di kelas turis, pemuda dengan gairah menyala itu bertemu dengan seorang penumpang muda asal Belanda. “Sinyo” itu baru saja lulus sebagai insinyur kelautan di Massachusetts Institute of Technology. Ia dalam perjalanan pulang menuju Belanda. Yang mengagetkan, sinyo itu selama masa remajanya ternyata menetap di Indonesia. Kedua anak muda itu terlibat percakapan hangat, yang sesekali dibumbui pertanyaan sang pemuda tentang kosakata Indonesia. Sinyo itu ternyata bersimpati pada pergerakan kemerdekaan Indonesia dan menyesalkan mengapa Belanda seolah tak rela melepaskan Indonesia. “Itu semua karena salah ayah saya,” tiba-tiba selorohnya mengejutkan. Ternyata “pemuda berlidah keju” itu adalah Cornelis Kees van Mook, putra Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus van Mook. Di kapal itu, Kees menitipkan sebuah surat untuk ayahnya di Batavia.
Kisah ini dapat dibaca dalam buku Southeast Asia: A Testament karya George McTurnan Kahin. Pemuda calon doktor itu adalah George McT. Kahin, orang yang sangat bersimpati pada perjuangan nasionalisme dan dikenal sebagai peletak dasar studi Indonesia modern. Sebelum Kahin muncul, penelitian tentang Indonesia lebih banyak didominasi “Leiden school“, yang menekankan studi filologi dan indologi. Bukunya, Nationalism and Revolution in Indonesia, adalah sebuah buku standar yang menjadi klasik. Tanpa malu-malu Kahin menyatakan bahwa bukunya itu berpihak ke Indonesia. “Buku Kahin sampai sekarang masih berguna dan relevan bagi siapa saja yang mau mengerti sejarah modern Indonesia,” kata Daniel Lev, sahabat Kahin
Dalam perspektif sejarah militer Belanda, mesin perang kolonial 1945-1950 itu adalah yang terbesar yang pernah dibangunnya sejak perang melawan Raja Prancis, Louis XIV, pada abad ke17.
Perang di Indonesia itu bisa pula dilihat sebagai pembangunan dan ujicoba militer terbesar sejak perang Napoleon awal abad ke-19, dan pembangunan mesin perang terbesar di Indonesia sejak menjadi koloninya 350 tahun sebelumnya. Tentara yang dikerahkan bukan semacam KNIL, tentara bayaran, atau profesional. Belanda mengirim konskrip atau pemuda wajib militernya.
Ini pula yang kemudian mewarnai politik militer Belanda, politik dalam dan luar negerinya. Pada Agustus 1945 Nederland baru dibebaskan dari Jerman seusai Perang Dunia II. Ia miskin dan hampir tak punya satu divisi atau bahkan brigade militer yang tangguh untuk membantu sekutunya di Eropa atau “membebaskan” kembali koloninya Hindia Belanda dari Jepang.
Anak muda kelahiran San Francisco itu adalah lulusan Universitas Stanford. Ia menyelesaikan tesis masternya mengenai persoalan Tionghoa di Indonesia. Dan ia sedang menyusun disertasi di Universitas John Hopkins tentang nasionalisme Indonesia. Ia bermaksud melakukan penelitian lapangan di kancah yang tengah bergolak tersebut. Saat itu Amerika belum memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Tak ada kedutaan besar dan konsulat Indonesia di New York.
Untung, pada musim semi 1948 itu, Sjahrir bersama asistennya, Soedjatmoko Mangoendiningrat, mampir ke New York untuk sebuah keperluan pidato di PBB. Anak muda itu mengunjungi apartemen Sjahrir. Dan “sang Kancil” memberikan sehelai surat untuk Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri Indonesia—sebuah “visa” untuk memasuki teritori yang dikuasai tentara Republik. Perasaan girang meliputi anak muda itu. Namun rekan-rekannya mengingatkan bahwa “surat” itu masih belum cukup. Supaya lebih aman, mereka menyarankan agar di Indonesia dia juga bertugas sebagai wartawan. Akhirnya ia mendaftar di sebuah kantor berita tak begitu terkenal, Overseas News Agency, yang memiliki kantor di New York, dan mendapat kartu pers.
Di dek kapal, di kelas turis, pemuda dengan gairah menyala itu bertemu dengan seorang penumpang muda asal Belanda. “Sinyo” itu baru saja lulus sebagai insinyur kelautan di Massachusetts Institute of Technology. Ia dalam perjalanan pulang menuju Belanda. Yang mengagetkan, sinyo itu selama masa remajanya ternyata menetap di Indonesia. Kedua anak muda itu terlibat percakapan hangat, yang sesekali dibumbui pertanyaan sang pemuda tentang kosakata Indonesia. Sinyo itu ternyata bersimpati pada pergerakan kemerdekaan Indonesia dan menyesalkan mengapa Belanda seolah tak rela melepaskan Indonesia. “Itu semua karena salah ayah saya,” tiba-tiba selorohnya mengejutkan. Ternyata “pemuda berlidah keju” itu adalah Cornelis Kees van Mook, putra Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus van Mook. Di kapal itu, Kees menitipkan sebuah surat untuk ayahnya di Batavia.
Kisah ini dapat dibaca dalam buku Southeast Asia: A Testament karya George McTurnan Kahin. Pemuda calon doktor itu adalah George McT. Kahin, orang yang sangat bersimpati pada perjuangan nasionalisme dan dikenal sebagai peletak dasar studi Indonesia modern. Sebelum Kahin muncul, penelitian tentang Indonesia lebih banyak didominasi “Leiden school“, yang menekankan studi filologi dan indologi. Bukunya, Nationalism and Revolution in Indonesia, adalah sebuah buku standar yang menjadi klasik. Tanpa malu-malu Kahin menyatakan bahwa bukunya itu berpihak ke Indonesia. “Buku Kahin sampai sekarang masih berguna dan relevan bagi siapa saja yang mau mengerti sejarah modern Indonesia,” kata Daniel Lev, sahabat Kahin
Dalam perspektif sejarah militer Belanda, mesin perang kolonial 1945-1950 itu adalah yang terbesar yang pernah dibangunnya sejak perang melawan Raja Prancis, Louis XIV, pada abad ke17.
Perang di Indonesia itu bisa pula dilihat sebagai pembangunan dan ujicoba militer terbesar sejak perang Napoleon awal abad ke-19, dan pembangunan mesin perang terbesar di Indonesia sejak menjadi koloninya 350 tahun sebelumnya. Tentara yang dikerahkan bukan semacam KNIL, tentara bayaran, atau profesional. Belanda mengirim konskrip atau pemuda wajib militernya.
Ini pula yang kemudian mewarnai politik militer Belanda, politik dalam dan luar negerinya. Pada Agustus 1945 Nederland baru dibebaskan dari Jerman seusai Perang Dunia II. Ia miskin dan hampir tak punya satu divisi atau bahkan brigade militer yang tangguh untuk membantu sekutunya di Eropa atau “membebaskan” kembali koloninya Hindia Belanda dari Jepang.