Pendeta Djaulung Wismar Saragih Sumbayak | Tokoh Inspiratif

Pendeta Djaulung Wismar Saragih Sumbayak

Djaulung Wismar Saragih Sumbayak
Gambar Djaulung Wismar Saragih SumbayakDjaulung Wismar Saragih Sumbayak (lahir 1888 di Sinondang Utara, kira-kira 3 km selatan Pematang Raya, meninggal dunia 7 Maret 1968) adalah Pendeta pertama dari suku asli Simalungun, dan seorang Budayawan yang gigih memperjuangkan kemajuan suku Simalungun. Sebagian karyanya adalah terjemahan Alkitab dalam Bahasa Simalungun yang membuatnya menjadi orang Indonesia pertama yang menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Nusantara (dalam hal ini Simalungun).

Keluarga dan Masa Kecil
Djaulung Saragih Sumbayak dilahirkan dari keluarga terpandang. Ayahnya, Jalam Saragih Sumbayak bekerja untuk Raja Raya, Tuan Rondahaim Saragih Garingging (1828-1891) dan penggantinya, Tuan Soemajan Saragih Garingging (1857-1932), sebagai pembuat sarung senapan, yang membuatnya digelari "Tuhang Sarung ni Bodil." Ibunya bernama Roggainim boru Purba Sigumonrong dari kampung Raya Dolog.

Pada saat pergantian Raja di Kerajaan Raya setelah meninggalnya Tuan Rondahaim Saragih Garingging pada tahun 1891, pecah perang saudara akibat ketidakcocokan pendapat mengenai siapa yang layak diangkat sebagai raja selanjutnya. Perang saudara ini mengakibatkan penderitaan mendalam bagi rakyat Simalungun di Kerajaan Raya, termasuk pada keluarga Jaulung Saragih. Penderitaan ini mendorongnya untuk mengangkat harkat keluarga sehingga menjadi pelopor kebangunan Simalungun.

Perkenalan dengan Kristen
Kedatangan penginjil RMG (Rheinische Missions-Gesselschaft - kelompok penginjil dari Jerman) ke daerah Simalungun, terutama Pematang Raya yang dipimpin oleh Pdt. August Theis untuk memperkenalkan Alkitab dan ajaran Kristen pada Djaulung muda. Semangatnya untuk maju mendorongnya untuk masuk sekolah Zending di Pematang Raya setelah ia dibaptis pada tanggal 11 September 1910. Setelah dibaptis inilah ia menambahkan nama Wismar ke dalam namanya.

Selanjutnya ia meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Kweekschool (sekolah guru) di Narumonda, Tapanuli, selama tahun 1911-1915.Setelah lulus ia sempat mengajar selama 6 tahun. Namun pengangkatannya sebagai pegawai negeri pada tahun 1921 menghentikan kariernya sebagai guru. Pada tahun itu ia mulai menjabat sebagai Pangulu Balei, satu jabatan Sekretaris Wilayah pada pemerintahan Kerajaan Panei.

Saat terbuka kesempatan untuk menjadi Pendeta pada tahun 1927, ia meninggalkan profesinya sebagai pegawai negri dan mendaftarkan diri. Ia diterima di sekolah pendeta HKBP di Sipoholon, Tapanuli (1927-1929). Selulusnya dari sekolah pendeta ini ia ditahbiskan di Simanungkalit pada tanggal 15 Desember 1929 menjadi seorang Pendeta HKBP, yang menjadikannya sebagai pendeta pertama dari Simalungun.

Memajukan Simalungun
Dj. Wismar berpendapat bahwa kunci kemajuan orang Simalungun ada pada peningkatan kesadaran akan harkat dan martabat dirinya sendiri dan peningkatan taraf hidupnya di berbagai bidang kehidupan, terutama pada wawasan berpikir orang Simalungun melalui budaya baca dan tulis.

Proses pelayanan penginjilan yang dilakukan RMG dengan menggunakan bahasa pengantar Toba dengan anggapan bahwa suku Simalungun merupakan sub-etnis dari suku Toba mengakibatkan suku Simalungun semakin termarginalisasi. Hal ini melahirkan semangat oposisi dari Dj. Wismar Saragih dan rekan-rekannya yang merasa bahwa Suku Simalungun telah terabaikan oleh RMG. Semangat itu termanifestasikan dalam "Sinalsal" (sebuah majalah periodik yang diterbitkan pada periode 1928-1940) dan buku-buku yang dikarangnya.

Sadar akan perlunya memajukan dan melestarikan budaya Simalungun, J. Wismar Saragih telah merintis penyusunan Kamus Simalungun pada tahun 1916. Namun usaha itu menemui halangan saat Kamus tersebut selesai dikerjakan pada tahun 1918 tapi ditolak penerbitannya oleh Pemerintahan di kala itu. Di kemudian hari Kamus ini berhasil diterbitkan pada tahun 1936 dengan judul Partingkian ni Hata Simalungun.

Pada tahun 1917 Dj. Wismar Saragih mulai mengusahakan penggunaan buku pelajaran dengan bahasa Simalungun di sekolah-sekolah untuk menggantikan buku yang ada yang menggunakan bahasa pengantar Toba. Hal ini dilakukannya tanpa seizin Pendeta Muller dari RMG di Pematang Siantar (sesuai rekomendasi inspektur pendidikan di Medan) karena pengalamannya dengan RMG yang memarginalisasi suku Simalungun.

Upaya Dj. Wismar Saragih dalam memajukan unsur "hasimalungunan" (ke-Simalungunan) secara konkrit dimulai saat ia masih mengikuti sekolah pendeta di Sipoholon, dengan menerbitkan buku Podah Pasal Marhorja (Nasihat tentang Pekerjaan-1929), diikuti oleh serangkaian buku dalam bahasa Simalungun, yaitu: Panggomgomion (Pemerintahan, 1929), Pitoeah Banggal (Sexuele Leven) (Kitab Tuntunan Kehidupan Seksual, 1938), Partingkian ni Hata Simaloengoen (Kamus Bahasa Simalungun, 1936), dan berbagai buku-buku pelajaran untuk Sekolah Rakyat seperti Sitoloe Saodoran dan Rondang Ragiragian.

Keinginannya untuk memajukan rakyat Simalungun juga mendorongnya untuk berperan aktif mengajar masyarakat Simalungun agar mau bersekolah. Ia juga telah merintis sebuah sekolah sore khusus untuk puteri, suatu hal yang tidak biasa saat itu di bagian daerah manapun di Nusantara. Selain itu ia juga mendorong peningkatan minat baca orang Simalungun dengan mendirikan taman bacaan "Dos ni Riah" dan perpustakaan "Parboekoean ni Pan Djaporman" di Pamatang Raya (1937). Dj. Wismar Saragih juga mewujudkan kepeduliannya pada kelestarian budaya Simalungun dengan mendirikan Roemah Poesaka Simaloengoen (Museum Simalungun) pada tahun 1940 dan sanggar kesenian "Parsora na Laingan" pada tahun 1937.

Usahanya membebaskan bangsa Simalungun melalui kekristenan terutama dilakukan melalui penterjemahan teks-teks Alkitab ke dalam Bahasa Simalungun, hal mana menyebabkan ia dijuluki "Een Simaloengoense Luther" (Luther dari Simalungun). Dj. Wismar Saragih dan beberapa teman-temannya menganggap bahwa laju penginjilan RMG di kalangan Suku Simalungun terhambat karena tidak digunakannya bahasa Simalungun sebagai media pengantar. Karenanya pada peringatan 25 tahun sampainya Injil di Simalungun (2 September 1928) Dj. Wismar Saragih turut merintis pendirian sebuah lembaga bahasa Simalungun bernama "Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen."

Pada tanggal 13 Oktober 1928 diadakan pertemuan di rumah Djaoedin Saragih di Pematang Raya yang dihadiri oleh 14 tokoh-tokoh Kristen Simalungun. Dalam pertemuan inilah disepakati pendirian badan yang memiliki tujuan untuk melestarikan dan memberdayakan bahasa Simalungun dengan nama di atas.

Selain melalui Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, Wismar juga turut aktif mendukung berbagai gerakan yang memajukan suku Simalungun seperti Kongsi Laita dan lain-lain.

Gereja Kristen Protestan Simalungun
Peranan Pdt. Dj. Wismar Saragih dalam mempercepat penyebaran Injil di kalangan rakyat Simalungun berlanjut di saat ia mengajukan surat protes kepada penginjil H. Volmer di Saribudolog pada tanggal 27 Oktober 1937. Surat itu memprotes perubahan nama Distrik Simalungun-Pesisir Timur (Simalungun-Oostkust) menjadi "Sumatera Timur, Aceh dan Dairi" yang disahkan HKBP dalam tata gerejanya pada tahun 1940. Hal itu dilakukannya atas kekhawatiran hilangnya identitas Simalungun pada rakyat Simalungun yang bergereja di Distrik tersebut.

Walaupun surat itu ditolak, namun keberatan yang secara berkelanjutan diajukan oleh komunitas Kristen-Simalungun tersebut akhirnya membuahkan hasil ketika Sinode am HKBP yang diadakan pada tanggal 10-11 Juli 1940 di Pearaja membicarakan keberatan mereka dan memutuskan agar Kerkbestuur HKBP membicarakan hal tersebut dengan jemaat Simalungun. Pembicaraan tersebut kemudian diadakan di Raya, Saribudolog dan Nagoridolog pada tanggal 26 September 1940 dan memutuskan agar komunitas Simalungun diberi satu distrik tersendiri bernama Distrik Simalungun dengan wakil orang Simalungun di sinode HKBP.

Dj. Wismar Saragih kemudian menjadi salah seorang peserta rapat yang diadakan pada tanggal 5 Oktober 1952 yang bertujuan agar Jemaat-jemaat HKBP distrik Simalungun berdiri sendiri dan terpisah dari HKBP, dan membentuk HKBPS serta pengurus-pengurus dan majelis-majelis gerejanya. Pemisahan ini dilakukan secara sepihak oleh HKBP distrik Simalungun, dan baru diakui oleh wakil-wakil HKBP pada rapat bersama antara delegasi HKBP dan Pengurus Harian HKBP Simalungun (HKBPS) tentang pandjaeon (pemisahan) HKBP Simalungun di Pematang Siantar, 21-22 Januari 1953 yang keputusannya ditandatangani pada tanggal 22 Januari 1953. Pada kepengurusan HKBPS, Dj. Wismar Saragih menduduki jabatan Wakil Ephorus, yang merupakan jabatan tertinggi di kepengurusan pusat HKBPS dan diwakili oleh seorang Sekretaris Jendral. Saat itu HKBPS tidak memiliki Ephorus sebagai upaya untuk tetap memelihara hubungan baik dengan HKBP. HKBPS merupakan rintisan menuju kemandirian penuh jemaat-jemaat di Simalungun di dalam Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Partuha Maujana Simalungun
Pelestarian dan pengembangan adat istiadat Simalungun juga mendapat perhatian khusus J. Wismar Saragih. Salah satunya adalah idenya yang menganjurkan penggunaan pakaian adat Simalungun dalam kegiatan ibadah di Gereja, sesuatu yang mengundang kontroversi mengingat para penginjil RMG menganjurkan penanggalan tutup kepala, termasuk Gotong dan Suri-suri (tutup kepala khas adat Simalungun), di dalam masa ibadah di Gereja.

J. Wismar Saragih juga mendirikan lembaga kesenian yang bertujuan untuk memelihara kesenian musik tradisional dan mengembangkannya sebagai lagu Gereja.

Bersama-sama dengan tokoh Simalungun lainnya seperti Haji Ulakma Sinaga dan Rajamin Purba (Bupati Simalungun saat itu) ia kemudian mendirikan sebuah wadah pengetua-pengetua adat Simalungun yang diberi nama Partuha Maujana Simalungun.

Kemerdekaan Indonesia
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, J. Wismar Saragih turut berperan serta aktif dalam memimpin rakyat untuk mendukung kemerdekaan. Hal ini dilakukannya secara efektif melalui mimbar gereja maupun pidato umum, seperti yang dilakukannya di Lapangan Sepak Bola Pematang Raya pada tanggal 23 Desember 1945. J. Wismar Saragih juga terpilih sebagai ketua saat dibentuknya Komite Nasional Kecamatan dan kemudian menjadi perutusan ke tingkat Kabupaten.

Karya-karya Dj. Wismar Saragih
Berikut sebagian dari karya-karya Pdt. Djaulung Wismar Saragih:
  • Tadah ni tondujta: in ma hata ni Naibata rupeita ari-ari (ayat marhasoman hatorangan), Tandjung Pengharapan, 1967.
  • Memorial peringatan pendeta J. Wismar Saragih: marsinalsal, 240 halaman, BPK Gunung Mulia, 1977.
  • Ambilan na madear pasai Toehan Jesoes Kristoes: songon sinoeratkon ni Si Loekas
  • Loopbaan J. Wismar Saragih, 141 halaman, British and Foreign Bible Society, 1939.
  • Portama i tongah djaboe, 59 halaman, Pan Djaporman, 1942.
  • Pasal panggomgomion (pamerentahan), 48 halaman, Comite "Na Ra Marpodah", 1929.
  • Barita ni toean Rondahaim na ginoran ni halak toean raja na Mabadjan, 79 halaman.
  • Siluah hun pulou Djawa (oleh-oleh dari Djawa), 38 halaman, Adventus, 1950.
  • Roehoet manoeratkon hata Batak Simaloengoen, marhiteihon soerat Boelanda (soerat Latijn): marondolan bani besluit ni Directeur O & E, 27 April 1920, Issue 14246, 24 halaman, 1934.
  • Buei ambilan na binuat humbani buku na pansing padan na basaia, 136 halaman, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), 1957.
  • Partingkian ni hata Simaloengoen: Simaloe-ngoen Bataks verklarend woordenboek, 280 halaman, Comite "Na Ra Marpodah Simaloe-ngoen," 1938 (mulai diproduksi oleh Zendingsdrukkerij pada 1936).
  • Padan Na Baru, bersama Petrus Purba dan LAI, 403 halaman, LAI, 1978.
  • Pardiateihon ma, ise do ia: Goluh pakon pangajarion ni Jesus, bersama Petrus Purba dan LAI, 91 halaman, LAI, 1976.
  • Ambilan na madear mangihutkon si Johannes: indjil Johannes, bersama Petrus Purba dan LAI, 63 halaman, LAI, 1971.