Tuanku Rao
Tuanku Rao (lahir, 1790 - wafat, 1833) adalah panglima perang dan tokoh Paderi terkemuka. Dia merupakan salah seorang penyebar Islam di Tanah Batak.
Asal usul
Tuanku Rao lahir dari pasangan Minangkabau yang berasal dari Rao, Pasaman, Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Tarung-Tarung, Rao, sedang ibunya dari Padang Mantinggi, Rao.
Pada masa remaja Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), dia dianugerahi gelar Fakih Muhammad.
Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, puteri Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan Hindia-Belanda, maka pimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.
Gerakan Paderi
Pada 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan hukum Islam. Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan Kerajaan Pagaruyung, tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak kemenakan.
Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, dia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke Rokan Hulu, Riau. Di wilayah Rokan dia bertemu dengan teman seperguruannya, Tuanku Tambusai. Bersama Tuanku Tambusai, dia mengislamkan masyarakat Padang Sidempuan, Kotanopan, Padang Lawas, Bakkara, dan sejumlah perkampungan di bibir Danau Toba.
Menentang Belanda
Tuanku Rao merupakan salah satu panglima Perang Padri yang tangguh, dengan gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padang Lawas, hingga Padang Sidempuan. Setelah pasukan Belanda menaklukan Matur dan Lubuk Sikaping, pada bulan Oktober 1832 Rao berhasil ditaklukan. Letnan Bevervoorden, seorang komandan pasukan Belanda, menemui Tuanku Rao dan membujuknya agar menyerah. Dalam pertemuan itu, Tuanku Rao berdalih akan pergi haji dan menyerahkan kembali pimpinan pemerintahan Rao kepada mertuanya, Yang Dipertuan Rao.
Setelah pertemuan itu, Tuanku Rao menarik diri dan bersembunyi di dalam hutan. Namun semangat yang dibawakan Tuanku Tambusai yang baru saja pulang dari Mekkah, menyemangatinya untuk terus berjuang melawan Belanda. Untuk memuluskan penyebaran paham Paderi ke tanah Batak, Tuanku Rao melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis. Pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao dihadang pasukan Belanda. Perlawanannya dapat dipatahkan, dan dia menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian dia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Kontroversi
Dalam buku Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833, Mangaradja Onggang Parlindungan menulis riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Paderi. Namun di dalam buku itu, banyak terdapat kejanggalan serta fakta-fakta yang tak dapat diterima oleh sejarawan. Diantara pernyataan Parlindungan yang dinilai sesat adalah asal usul Tuanku Rao yang disebutnya berasal dari etnis Batak bermarga Sinambela, dan merupakan seorang kemenakan Sisingamangaraja X. Ketidakakuratan lainnya adalah mengenai tahun kematian Tuanku Rao yang disebutkannya pada tahun 1921.
Namun buku tersebut telah dibantah oleh banyak ahli sejarah dan agama Islam. Antara lain adalah Hamka, melalui bukunya Tuanku Rao : Antara Khayal dan Fakta. Dalam buku ini Hamka membeberkan kebohongan yang diungkapkan Parlindungan, sekaligus meluruskan fakta mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi.
Sumber : Wikipedia
Tuanku Rao (lahir, 1790 - wafat, 1833) adalah panglima perang dan tokoh Paderi terkemuka. Dia merupakan salah seorang penyebar Islam di Tanah Batak.
Asal usul
Tuanku Rao lahir dari pasangan Minangkabau yang berasal dari Rao, Pasaman, Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Tarung-Tarung, Rao, sedang ibunya dari Padang Mantinggi, Rao.
Pada masa remaja Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), dia dianugerahi gelar Fakih Muhammad.
Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, puteri Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan Hindia-Belanda, maka pimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.
Gerakan Paderi
Pada 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan hukum Islam. Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan Kerajaan Pagaruyung, tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak kemenakan.
Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, dia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke Rokan Hulu, Riau. Di wilayah Rokan dia bertemu dengan teman seperguruannya, Tuanku Tambusai. Bersama Tuanku Tambusai, dia mengislamkan masyarakat Padang Sidempuan, Kotanopan, Padang Lawas, Bakkara, dan sejumlah perkampungan di bibir Danau Toba.
Menentang Belanda
Tuanku Rao merupakan salah satu panglima Perang Padri yang tangguh, dengan gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padang Lawas, hingga Padang Sidempuan. Setelah pasukan Belanda menaklukan Matur dan Lubuk Sikaping, pada bulan Oktober 1832 Rao berhasil ditaklukan. Letnan Bevervoorden, seorang komandan pasukan Belanda, menemui Tuanku Rao dan membujuknya agar menyerah. Dalam pertemuan itu, Tuanku Rao berdalih akan pergi haji dan menyerahkan kembali pimpinan pemerintahan Rao kepada mertuanya, Yang Dipertuan Rao.
Setelah pertemuan itu, Tuanku Rao menarik diri dan bersembunyi di dalam hutan. Namun semangat yang dibawakan Tuanku Tambusai yang baru saja pulang dari Mekkah, menyemangatinya untuk terus berjuang melawan Belanda. Untuk memuluskan penyebaran paham Paderi ke tanah Batak, Tuanku Rao melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis. Pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao dihadang pasukan Belanda. Perlawanannya dapat dipatahkan, dan dia menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian dia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Kontroversi
Dalam buku Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833, Mangaradja Onggang Parlindungan menulis riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Paderi. Namun di dalam buku itu, banyak terdapat kejanggalan serta fakta-fakta yang tak dapat diterima oleh sejarawan. Diantara pernyataan Parlindungan yang dinilai sesat adalah asal usul Tuanku Rao yang disebutnya berasal dari etnis Batak bermarga Sinambela, dan merupakan seorang kemenakan Sisingamangaraja X. Ketidakakuratan lainnya adalah mengenai tahun kematian Tuanku Rao yang disebutkannya pada tahun 1921.
Namun buku tersebut telah dibantah oleh banyak ahli sejarah dan agama Islam. Antara lain adalah Hamka, melalui bukunya Tuanku Rao : Antara Khayal dan Fakta. Dalam buku ini Hamka membeberkan kebohongan yang diungkapkan Parlindungan, sekaligus meluruskan fakta mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi.
Sumber : Wikipedia