Ashin Jinarakkhita | Tokoh Inspiratif

Ashin Jinarakkhita

Ashin Jinarakkhita
Gambar Ashin JinarakkhitaInformasi Pribadi :
  • Lahir : 23 Januari 1923
  • Meninggal : 18 April 2002 (umur 79)
  • Kebangsaan : Indonesia
  • Pekerjaan : Bhikkhu
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, terlahir The Boan An, juga dikenal dengan panggilan Su Kong (lahir di Bogor, Jawa Barat, Hindia Belanda, 23 Januari 1923 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 18 April 2002 pada umur 79 tahun) merupakan orang Indonesia pertama yang ditahbiskan menjadi bhikkhu setelah 500 tahun runtuhnya kerajaan Majapahit saat ia ditahbiskan pada tahun 1953. Dia merupakan salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Buddhis di Indonesia modern. Selain mempelajari kimia di Groningen, Belanda dia juga mendalami agama Buddha. Pada Juni 1953 ia ditahbiskan dalam tradisi Mahayana di Jakarta. Pembimbingnya menganjurkan agar ia belajar lebih lanjut di Myanmar, karena itu pada tahun yang sama ia masuk Sasana Yeiktha di Yangon untuk belajar meditasi satipatthana di bawah bimbingan Mahasi Sayadaw. Pada tahun berikutnya ia ditahbiskan menjadi bhikkhu dan mengambil nama Ashin Jinarakkhita. Pada tahun 1955 ia kembali ke Jawa dan dengan kerja keras membangun kembali vihara-vihara dan biara-biara Buddhis.

Riwayat Hidup Masa Kecil
The Boan An merupakan anak ketiga dari pasangan The Hong Gie dan Tan Sep Moy. Ayah Boan An, merupakan seorang wykmesster, atau semacam lurah untuk masa kini, sehingga di rumah Boan An sewaktu kecil sering kali didatangi oleh banyak orang untuk mengurusi berbagai surat-surat penting. Namun sayangnya, pada saat ia berumur 2 tahun, ibunya meninggal dunia, dan kemudian ayahnya menikahi adik dari Tan Sep Moy, yaitu Sep Nyie Moy yang menjadi ibu tiri untuk si kecil Boan An.

Pada saat duduk di sekolah dasar di HCS, Boan An tidak mendapatkan uang jajan dari orangtuanya sehingga ia bekerja sambilan untuk memperoleh uang jajan. Ia menjadi tukang tagih utang untuk seorang dokter, dan mendapat persenan dari hasil tagihan tersebut. Meskipun demikian, Boan An bukanlah orang yang kasar, namun pemurah dan berhati lurus. Ia sering membagi-bagikan uang jajannya kepada teman-temannya yang lain dan sangat tidak suka mencuri barang orang lain. Pernah suatu hari, teman dekatnya, Anyi berniat untuk mencuri buah jambu dan dihentikan oleh Boan An dan mengatakan bahwa lebih baik ia memintanya daripada mencuri.

Boan An juga memiliki sifat yang keras, jika ia tidak maka tidak, jika mau maka mau. Akibat sifatnya ini ia pernah bertengkar dengan ayahnya sehingga ia berusaha untuk kabur dari rumahnya untuk pergi ke tempaat neneknya. Setelah seharian berusaha ketempat neneknya, akhirnya ayahnya berusaha mencarinya dan menemukannya di rumah salah seorang yang memberinya tempat menginap untuk sementara.

Ketertarikan pada Spiritualisme
Setelah lulus dari HCS ia ingin melanjutkan pendidikannya di HBS, setara dengan SMA untuk masa itu, namun karena terlambat mendaftar akhirnya ia bersekolah di PHS selama satu tahun pada 1936, dan setelah itu baru ia mendaftar kembali untuk belajar di HBS tahun berikutnya. Pada saat itu, ia sudah mulai tertarik dengan ilmu-ilmu gaib dan yoga. Ia sering bercerita banyak sekali tentang yoga kepada teman-temannya. "Yoga. Yoga itu membela kamu punya jiwa, Kamu gak akan ngaco pikirannya. Kalau kagi banyak pikiran, nolkan lagi, sudah nol boleh mikir lagi.” Pada saat itu juga ia berkenalan dengan seorang Belanda yang katanya dapat melihat makhluk halus bernama Reigh. Oleh Reigh ini, Boan An belajar mengenai magnetism untuk penyembuhan dan juga okultisme. Ketertarikan Boan An mengenai hal-hal spiritual ini membuat ayahnya merasa khawatir akan pendidikan anaknya di sekolah. Akhirnya ayahnya mengajak Boan An ke tempat kakeknya. Ternyata kakek Boan An yang merupakan vegetarian, membuat Boan An ikut menjadi vegetarian yang membuat marah ayahnya.

Setelah lulus dari HBS pada tahun 1941, Boan An melanjutkan pendidikannya di HCS jurusan ilmu pasti alam (sekarang ITB). Namun, setelah Jepang menduduki Indonesia, semua perkuliahan dihentikan, akibatnya Boan An pun pulang kembali ke rumahnya di Bogor. Di Bogor ia membantu di dapur umum yang didirikan untuk membantu orang-orang yang kesulitan mendapat makanan pada masa tersebut. Selain itu, ia juga rajin bermeditasi dan bertukan pikiran dengan tokoh-tokoh spiritual yang ada. Akhirnya, ia berkenalan dengan orang-orang dari perkumpulan Theosofi dan mulai memperdalam minatnya di bidang spiritual.

Pada tahun 1946, ayah Boan An merasa bahwa anaknya harus melanjutkan kembali pendidikannya yang tertunda. Boan An akhirnya melanjutkan pendidikannya di Groningen, Belanda di Universiteit Groningen, Fakulteit Wis en Natuurkunde jurusan ilmu Kimia. Di Belanda ia mulai aktif dalam organisasi Theosofi dan juga mulai memperdalam ilmu filsafat. Ia juga membantu dalam bidang social, yaitu sewaktu Dam Wicheren bocor, ia menjadi sukarelawan di sana. Setelah tahun keempatnya di negeri Kincir tersebut, ia menuliskan surat kepada temannya bahwa tidak ingin meneruskan pendidikan ilmu kimianya dan ingin memusatkan perhatiannya dalam penyebaran agama Buddha. Akhirnya, setelah 5 tahun berada di negeri orang, Boan An pun kembali ke Indonesia.

Pada tahun 1951, Boan An kembali lagi ke Indonesia. Dia pun menjadi salah satu pendiri Gabungan Sam Kauw Indonesia, dimana perkumpulan ini mencoba untuk melestarikan kebudayaan Buddhisme, Konfusius, dan Taoisme di Indonesia, dimana ia diangkat menjadi ketuanya. Ia juga menjadi wakil ketua pengurus pusat Pemuda Theosofi di Indonesia. Salah satu usahanya dalam melestarikan agama Buddha di Indonesia ialah mengadakan perayaan Waisak secara nasional untuk pertama kalinya dalam beratus-ratus tahun di candi Borobudur pada tanggal 23 Mei 1935.

Berguru pada Mahabhikkhu
Ketertarikan Boan An pada ajaran Buddha membuat ia sering mengunjungi kelenteng Kong Hoa Sie yang berada di Jakarta. Disana ia sering belajar dari mahabhikkhu Y.A. Sanghanata Aryamulya Pen Cing, yang menjadi guru Mahayana untuk Boan An. Ia pun ditahbiskan menjadi sramanera dengan nama Ti Chen. Keinginan sramanera Ti Chen untuk memperdalam lagi ajaran Buddha dengan berangkat ke Tiongkok pada saat itu sulit terpenuhi karena pada masa tersebut tidak adanya hubungan diplomatik. Pada saat tersebut, terdengar kabar bahwa ayah sramanera Ti Chen mengalami sakit keras dan berobat di Jakarta. The Hong Gie pun meminta agar ia dapat bertemu dengan anaknya, dan ia pun meninggal di dalam pelukan sramanera Ti Chen.

Dalam usaha Ti Chen untuk memperdalam ajaran Buddha, ia berusaha untuk menghubungi beberapa kedutaan agar dapat belajar di Sri Lanka, namun rupanya hal tersebut kurang mendapat perhatian dari kedutaan Sri Lanka, hingga akhirnya ia menghubungi kedutaan Burma dan mendapat persetujuan untuk berangkat ke Burma untuk mendalami ajaran Buddha. Pada akhir bulan Desember 1953, sramanera Ti Chen pun berangkat menuju Burma.

Di Burma ia berlatih meditasi di pusat pelatihan meditasi, Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. Kemajuan yang dialaminya sangat pesat sehingga mencengangkan banyak orang. Ia pun disana mendapat bimbingan khusus dari bhikkhu Nyanuttara Sayadaw. Akhirnya, pada tanggal 23 januari 1954, Ti Chen ditahbiskan kembali menjadi samanera dalam tradisi Theravada. Ia pun mendapatkan nama Jinarakkhita dari Bhante Mahasi Sayadaw dan diberi gelar Ashin. Maka ia pun menjadi orang Indonesia pertama yang ditahbiskan menjadi bhikkhu setelah keruntuhan kerajaan Majapahit. Ini merupakan salah satu lompatan besar dalam perkembangan Buddhisme di Indonesia. Setelah itu, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita pu kembali ke Indonesia pada 17 Januari 1955.

Karya-karya
Salah satu karya besar yang ditinggalkan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita ialah paham Buddhayana di Indonesia. Dimana ia melihat bahwa seharusnya ajaran Buddha tidak terbagi-bagi dalam sekte-sekte yang berbeda. Apalagi melihat histori dirinya yang pernah diajar dibawah bimbingan guru dari aliran Mahayana dan juga Theravada. Selain itu juga Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memperkenalkan Sanghyang Adi Buddha sebagai konsep “Ketuhanan” dalam agama Buddha sehingga agama Buddha diakui secara sah oleh negara Republik Indonesia.

Sumber : Wikipedia