Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Informasi Pribadi :
Riwayat
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo - Balai Gurah, IV Angkek Candung, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M).
Awal berada di Mekkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.
Banyak sekali murid Syaikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka; Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syaikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syaikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syaikh Khatib Ali Padang, Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syaikh Hasan Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah.
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XX. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Nasab
Ia bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin ‘Abdul Lathif bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah.
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al Khatib dilahirkan di Koto Tuo, kenagarian Balai Gurah, Kec. Ampek Angkek Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M. Ibunya bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Ayahnya bernama 'Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang. ‘Abdullah, kakek Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.
Pendidikan
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke Tanah Suci mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama mekkah terutama yang mengajar di Masjid Al Haram terutama yang mengajar di Masjid Al Haram.
Di antara guru-guru Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah di mekkah adalah:
Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendudkung ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.
Murid
Mengenai murid-murid Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah rahimahullah, Siradjuddin ‘Abbas berkata, “Sebagaimana dikatakan di atas bahwa hamper ulama Syafi’I yang kemudian mengembangkan ilmu agama di Indonesia, seperti Syaikh Sulaiman Ar Rasuli, Syaikh Muhd. Jamil Jaho, Syaikh ‘Abbas Qadhli, Syaikh Musthafa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’shum Medan Deli dan banyak lagi ulama-ulama Indonesia pada tahun-tahun abad XIV adalah murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Khathib Minangkabau ini.”
Ucapan senada juga dinyatakan penulis Ensiklopedi Ulama Nusantara di banyak tempat. Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal dalam Beberapa Aspek:Guru untuk Generasi Pertama Kau Muda. Namun, tidak salah kiranya kita sebutkan di sini beberapa murid-muridnya yang menonjol, baik secara keilmuan maupun dakwah yang mereka lancarkan, di antaranya adalah:
Di antara kebiasaan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah di mekkah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekedar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.
Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan dijadikannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu. Ya. Setelah banyak mengetahui tentang prihal dan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putrid pertamanya yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sempat ragu menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.
Tentang pengambilan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putrid Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di mekkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’
Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).
Ternyata pernikahan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.
Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk menikah kembali dengan purinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu:
‘Abdul Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik.
‘Abdul Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudul Sirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al imam Al ‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)-
Kesuksesan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang mulia terutama masalah ‘aqidah. Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku, ia akan berkata,’Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta).’ Aku pun balik bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’ ‘Dia berada di langit sana,’ jawab ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak melihat-Mu.’ Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa yang kuminta seraya berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang tadi kamu minta .’
Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?’ Ayah pun segera menjawab, ‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat shalat, atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun segera menlakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”
Bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman ‘aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong. Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktekkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”
Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah kepada keluarganya adalah ia selalu menegur dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan termasuk alat-alat music dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci. Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi prilaku-prilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi berbeda dengan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin. Maka dengan segenap kemampuannya, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menganjurkan kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabdanya, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”
Imam Besar Masjidil Haram Mekkah pertama dari orang non Arab
Kealiman Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan dilangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.
Mengenai sebab pengangkatan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al Khathib menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam & khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai shalat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.
Gagasan-gagasan
Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.
Karya
Karya-karya tulis Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran & Sunnah.
Karya-karya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam bahasab ’Arab:
Pada tanggal 9 Jumadil Ula tahun 1334 H, Allah ‘memanggil’ Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah ke hadhirat-Nya setelah sekian lama hidup di dunia yang fana ini. Ya, jatah ia tinggal di dunia ini telah habis setelah mencetak kader-kader yang hingga detik ini masih disebut-sebut. Jasadnya memang sudah tiada, namun kehadirannya seakan-akan masih bisa dirasakan karena keilmuan dan peninggalan-peninggalannya berupa murid-muridnya yang terus memperjuangkan misi-misinya dan terutama karya-karya ilmiahnya yang masih terus dibaca hingga hari ini. Rahimahullah wa askanahu fasiha jannatih.
Informasi Pribadi :
- Lahir : 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 M)
- Wafat : 8 Jumadil Awal 1334 H (Maret 1916 M; umur 56)
- Kebangsaan : Kerajaan Pagaruyung Minangkabau
- Jabatan : Mufti, Imam Masjidil Haram, Mekkah.
- Istri : Khadijah, Fathimah
- Keturunan :Abdul Karim, Abdul Malik, Abdul Hamid al-Khathib
- (Ayah) : Abdullatief Khatib
- (Ibu) : Limbak Urai
Riwayat
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo - Balai Gurah, IV Angkek Candung, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M).
Awal berada di Mekkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.
Banyak sekali murid Syaikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka; Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syaikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syaikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syaikh Khatib Ali Padang, Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syaikh Hasan Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah.
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XX. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Nasab
Ia bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin ‘Abdul Lathif bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah.
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al Khatib dilahirkan di Koto Tuo, kenagarian Balai Gurah, Kec. Ampek Angkek Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M. Ibunya bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Ayahnya bernama 'Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang. ‘Abdullah, kakek Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.
Pendidikan
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke Tanah Suci mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama mekkah terutama yang mengajar di Masjid Al Haram terutama yang mengajar di Masjid Al Haram.
Di antara guru-guru Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah di mekkah adalah:
- Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
- Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
- Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i (1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
- Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah, yaitu:
- Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’i di mekkah-
- Yahya Al Qalyubi
- Muhammad Shalih Al Kurdi
Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendudkung ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.
Murid
Mengenai murid-murid Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah rahimahullah, Siradjuddin ‘Abbas berkata, “Sebagaimana dikatakan di atas bahwa hamper ulama Syafi’I yang kemudian mengembangkan ilmu agama di Indonesia, seperti Syaikh Sulaiman Ar Rasuli, Syaikh Muhd. Jamil Jaho, Syaikh ‘Abbas Qadhli, Syaikh Musthafa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’shum Medan Deli dan banyak lagi ulama-ulama Indonesia pada tahun-tahun abad XIV adalah murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Khathib Minangkabau ini.”
Ucapan senada juga dinyatakan penulis Ensiklopedi Ulama Nusantara di banyak tempat. Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal dalam Beberapa Aspek:Guru untuk Generasi Pertama Kau Muda. Namun, tidak salah kiranya kita sebutkan di sini beberapa murid-muridnya yang menonjol, baik secara keilmuan maupun dakwah yang mereka lancarkan, di antaranya adalah:
- Syaikh ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya adalah Al Qaulush Shahih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.
- Muhammad Darwis alias Ustadz Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin Sulaiman rahimahullah –pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah-.
- Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbangi rahimahullah –salah satu pendiri Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama-.
- Ustadz ‘Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al-Irsyad
- Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjari rahimahullah –mufti Kerajaan Indragiri-.
- Muhammad Thaib ‘Umar
- Dan lain-lain.
Di antara kebiasaan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah di mekkah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekedar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.
Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan dijadikannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu. Ya. Setelah banyak mengetahui tentang prihal dan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putrid pertamanya yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sempat ragu menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.
Tentang pengambilan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putrid Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di mekkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’
Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).
Ternyata pernikahan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.
Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk menikah kembali dengan purinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu:
‘Abdul Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik.
‘Abdul Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudul Sirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al imam Al ‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)-
Kesuksesan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang mulia terutama masalah ‘aqidah. Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku, ia akan berkata,’Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta).’ Aku pun balik bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’ ‘Dia berada di langit sana,’ jawab ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak melihat-Mu.’ Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa yang kuminta seraya berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang tadi kamu minta .’
Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?’ Ayah pun segera menjawab, ‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat shalat, atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun segera menlakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”
Bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman ‘aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong. Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktekkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”
Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah kepada keluarganya adalah ia selalu menegur dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan termasuk alat-alat music dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci. Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi prilaku-prilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi berbeda dengan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin. Maka dengan segenap kemampuannya, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menganjurkan kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabdanya, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”
Imam Besar Masjidil Haram Mekkah pertama dari orang non Arab
Kealiman Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan dilangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.
Mengenai sebab pengangkatan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al Khathib menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam & khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai shalat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.
Gagasan-gagasan
Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.
Karya
Karya-karya tulis Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran & Sunnah.
Karya-karya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam bahasab ’Arab:
- Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
- Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
- Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
- Raudhatul Hussab
- Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
- As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
- Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
- An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
- Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
- Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
- Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
- Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
- Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
- Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
- Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
- As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
- Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
- Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
- Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
- Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
- Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
- Tanbihul Anam fir Radd ‘ala Risalah Kaffil ‘Awwam, sebuah kitab bantahan untuk risalah Kafful ‘Awwam fi Khaudh fi Syirkatil Islam karya Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari yang melarang kaum muslimin untuk nimbrung di Sarekat Islam (SI)
- Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
- Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
- Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif
- Adapun yang berbahasa Melayu adalah:
- Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
- Ar Riyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid wa Al Fiqh Asy Syafi’i
- Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
- Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
- Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
- Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
- Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
- Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
- Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
- Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
- Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
- Izhhar Zughalil Kadzibin
- Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
- Al Jawi fin Nahw
- Sulamun Nahw
- Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
- Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
- Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
- Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
- Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
- Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu
Pada tanggal 9 Jumadil Ula tahun 1334 H, Allah ‘memanggil’ Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah ke hadhirat-Nya setelah sekian lama hidup di dunia yang fana ini. Ya, jatah ia tinggal di dunia ini telah habis setelah mencetak kader-kader yang hingga detik ini masih disebut-sebut. Jasadnya memang sudah tiada, namun kehadirannya seakan-akan masih bisa dirasakan karena keilmuan dan peninggalan-peninggalannya berupa murid-muridnya yang terus memperjuangkan misi-misinya dan terutama karya-karya ilmiahnya yang masih terus dibaca hingga hari ini. Rahimahullah wa askanahu fasiha jannatih.