Thaha Syaifuddin
Untuk kegunaan lain dari Sultan Thaha Syaifuddin, lihat Sultan Thaha Syaifuddin (disambiguasi).
Sultan Thaha Syaifuddin (Jambi, 1816 - Betung, 26 April 1904) adalah seorang sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. Dilahirkan di Keraton Tanah pilih Jambi pada pertengahan tahun 1816. Ketika kecil ia biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat dan bersikap sebagai seorang bangsawan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa.
Pada pertempuran di Sungai Aro itu jejak Sultan Thaha tidak diketahui lagi oleh rakyat umum, kecuali oleh pembantunya yang sangat dekat. Sultan Thaha Syaifuddin meninggal pada tanggal 26 April 1904 dan dimakamkan di Muara Tebo, Jambi.Namanya diabadikan untuk Bandar Udara Sultan Thaha di Jambi.
Sultan Thaha Syaifuddin tidak mengakui perjanjian yang dibuat oleh sultan-sultan terdahulu dengan Belanda. Salah satu diantaranya perjanjian tahun 1833 yang menyatakan Jambi adalah milik Belanda dan dipinjamkan kepada Sultan Jambi. Belanda mengancam akan memecatnya, akibatnya hubungannya dengan Belanda tegang. Karena sudah memperkirakan Belanda pasti akan menggunakan kekuatan senjata, maka Sultan Thaha pun memperkuat pertahanan Jambi.
Belanda mengirim Residen Palembang untuk berunding dengan Sultan Thaha. Perundingan itu gagal. Sesudah itu, Belanda menyampaikan ultimatum agar Sultan Thaha menyerahkan diri. Karena Sultan Thaha menolak ultimatum, pada 25 September 1858 Belanda melancarkan serangan. Pertempuran berkobar di Muara Kumpeh. Pasukan Jambi berhasil menenggelamkan sebuah kapal perang Belanda, namun mereka tidak mampu mempertahankan kraton. Sultan Thaha menyingkir ke Muara Tembesi dan membangun pertahanan di tempat ini.
Perang utama sudah berakhir, tetapi perlawanan rakyat berlangsung puluhan tahun lamanya. Sultan Thaha membeli senjata dari pedagang-pedagang Inggris melalui Kuala Tungkal, Siak dan Indragiri. Rakyat dianjurkan agar tetap mengadakan perlawanan. Pada 1885 mereka menyerang sebuah benteng Belanda dalam kota Jambi, sedangkan pos militer Belanda di Muara Sabak mereka hancurkan. Karena itu, Belanda meningkatkan operasi militernya.
Pasukan bantuan dalam jumlah besar didatangkan dari Jawa. Belanda mendatangkan pasukan dari Magelang lewat Semarang dan Palembang. Pada tanggal 31 luli 1901 pasukan Belanda yang datang mendapatkan perlawanan sengit di Surolangun. Namun, pasukan Belanda terus mengadakan pengejaran sampai ke pedalaman. Mereka berhasil menawan pasukan dan pengikut Sultan Thaha.
Pada tahun 1904, Belanda melakukan penyerbuan dan berhasil menyergap pasukan Sultan Thaha di dusun Betung Berdarah. Dalam penyerbuan itu, Sultan Thaha wafat dalam usia ke 88. Jasadnya dikebumikan
di Muara Tebo yang kini dijadikan sebagai Makam Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin.
Thaha Sjaifuddin diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 24 Oktober 1977 dengan Keppres No. 79/TK/1977. Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Jambi.
Untuk kegunaan lain dari Sultan Thaha Syaifuddin, lihat Sultan Thaha Syaifuddin (disambiguasi).
Sultan Thaha Syaifuddin (Jambi, 1816 - Betung, 26 April 1904) adalah seorang sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. Dilahirkan di Keraton Tanah pilih Jambi pada pertengahan tahun 1816. Ketika kecil ia biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat dan bersikap sebagai seorang bangsawan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa.
Pada pertempuran di Sungai Aro itu jejak Sultan Thaha tidak diketahui lagi oleh rakyat umum, kecuali oleh pembantunya yang sangat dekat. Sultan Thaha Syaifuddin meninggal pada tanggal 26 April 1904 dan dimakamkan di Muara Tebo, Jambi.Namanya diabadikan untuk Bandar Udara Sultan Thaha di Jambi.
Sultan Thaha Syaifuddin tidak mengakui perjanjian yang dibuat oleh sultan-sultan terdahulu dengan Belanda. Salah satu diantaranya perjanjian tahun 1833 yang menyatakan Jambi adalah milik Belanda dan dipinjamkan kepada Sultan Jambi. Belanda mengancam akan memecatnya, akibatnya hubungannya dengan Belanda tegang. Karena sudah memperkirakan Belanda pasti akan menggunakan kekuatan senjata, maka Sultan Thaha pun memperkuat pertahanan Jambi.
Belanda mengirim Residen Palembang untuk berunding dengan Sultan Thaha. Perundingan itu gagal. Sesudah itu, Belanda menyampaikan ultimatum agar Sultan Thaha menyerahkan diri. Karena Sultan Thaha menolak ultimatum, pada 25 September 1858 Belanda melancarkan serangan. Pertempuran berkobar di Muara Kumpeh. Pasukan Jambi berhasil menenggelamkan sebuah kapal perang Belanda, namun mereka tidak mampu mempertahankan kraton. Sultan Thaha menyingkir ke Muara Tembesi dan membangun pertahanan di tempat ini.
Perang utama sudah berakhir, tetapi perlawanan rakyat berlangsung puluhan tahun lamanya. Sultan Thaha membeli senjata dari pedagang-pedagang Inggris melalui Kuala Tungkal, Siak dan Indragiri. Rakyat dianjurkan agar tetap mengadakan perlawanan. Pada 1885 mereka menyerang sebuah benteng Belanda dalam kota Jambi, sedangkan pos militer Belanda di Muara Sabak mereka hancurkan. Karena itu, Belanda meningkatkan operasi militernya.
Pasukan bantuan dalam jumlah besar didatangkan dari Jawa. Belanda mendatangkan pasukan dari Magelang lewat Semarang dan Palembang. Pada tanggal 31 luli 1901 pasukan Belanda yang datang mendapatkan perlawanan sengit di Surolangun. Namun, pasukan Belanda terus mengadakan pengejaran sampai ke pedalaman. Mereka berhasil menawan pasukan dan pengikut Sultan Thaha.
Pada tahun 1904, Belanda melakukan penyerbuan dan berhasil menyergap pasukan Sultan Thaha di dusun Betung Berdarah. Dalam penyerbuan itu, Sultan Thaha wafat dalam usia ke 88. Jasadnya dikebumikan
di Muara Tebo yang kini dijadikan sebagai Makam Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin.
Thaha Sjaifuddin diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 24 Oktober 1977 dengan Keppres No. 79/TK/1977. Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Jambi.