Oerip Soemohardjo Jenderal (anumerta) | Tokoh Inspiratif

Oerip Soemohardjo Jenderal (anumerta)

Oerip Soemohardjo
Informasi Pribadi :
Gambar Jenderal Oerip Soemohardjo
  • Nama lahir : Muhammad Sidik
  • Lahir  : 22 Februari 1893
  • Meninggal : 17 November 1948 (umur 55)
  • Dimakamkan : Taman Makam Pahlawan Kusumanegara 
  • Pangkat : Letnan Jenderal, Jenderal (anumerta)
  • Perang : Revolusi Nasional Indonesia
  • Penghargaan : Pahlawan Nasional Indonesia
Jenderal Oerip Soemohardjo (EYD: Urip Sumoharjo; lahir 22 Februari 1893 – meninggal 17 November 1948 pada umur 55 tahun) adalah seorang jenderal dan kepala staf umum Tentara Nasional Indonesia pertama pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Lahir di Purworejo, Hindia Belanda, Oerip kecil adalah anak nakal yang sudah memperlihatkan kemampuan memimpin sejak usia dini. Orangtuanya menginginkan dirinya untuk mengikuti jejak kakeknya sebagai bupati, oleh sebab itu, setamat sekolah dasar, ia dikirim ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (OSVIA) di Magelang. Ibunya wafat saat ia menjalani tahun kedua di sekolah, dan Oerip berhenti sekolah untuk mengikuti pelatihan militer di Meester Cornelis, Batavia (kini Jatinegara, Jakarta). Setelah lulus pada tahun 1914, ia menjadi letnan di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), tentara pemerintah kolonial Belanda. Bertugas selama hampir 25 tahun, ia ditempatkan di tiga pulau berbeda dan dipromosikan beberapa kali, dan akhirnya menjadi perwira pribumi dengan pangkat tertinggi di KNIL.

Oerip mengundurkan diri dari jabatannya sekitar tahun 1938 setelah berselisih dengan Bupati Purworejo, tempat ia ditempatkan. Oerip dan istrinya, Rohmah, kemudian pindah ke sebuah desa di dekat Yogyakarta. Di sana, mereka membangun sebuah vila dan kebun bunga yang luas. Setelah Jerman Nazi menginvasi Belanda pada bulan Mei 1940, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Ketika Kekaisaran Jepang menduduki Hindia dua tahun kemudian, Oerip ditangkap dan ditahan di kamp tawanan perang selama tiga setengah bulan. Ia melalui sisa masa pendudukan Jepang di vilanya.

Pada tanggal 14 Oktober 1945, beberapa bulan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Oerip ditetapkan sebagai kepala staff dan pemimpin sementara angkatan perang yang baru dibentuk. Oerip berupaya untuk menyatukan kekuatan kelompok-kelompok militer yang terpecah-pecah di Indonesia. Pada 12 November 1945, Jenderal Soedirman terpilih sebagai panglima angkatan perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu. Oerip tetap menjabat sebagai kepala staff, dan mereka berdua sama-sama mengawasi pembangunan angkatan perang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Merasa muak atas kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap militer dan manuver politik yang terjadi di tubuh militer, Oerip akhirnya mengundurkan diri pada awal 1948. Mengidap lemah jantung, kondisi kesehatannya memburuk dan ia wafat karena serangan jantung beberapa bulan kemudian. Berpangkat letnan jenderal pada saat kematiannya, Oerip secara anumerta dipromosikan menjadi jenderal penuh. Ia menerima beberapa penghargaan dari pemerintah Indonesia, termasuk gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1964.

Kehidupan awal
Oerip Soemohardjo lahir dengan nama Muhammad Sidik ("Muhammad Kecil") di rumah keluarganya di Sindurjan, Purworejo, Hindia Belanda, pada tanggal 22 Februari 1893.Ia adalah putra pertama dari pasangan Soemohardjo, seorang kepala sekolah dan putra tokoh Muslim setempat, dan istrinya, putri dari Raden Tumenggung Widjojokoesoemo, bupati Trenggalek; pasangan ini kemudian memiliki dua putra lagi, Iskandar dan Soekirno, serta tiga orang putri.Putra-putranya sebagian dibesarkan oleh pembantu, dan pada usia muda Sidik mulai menunjukkan kualitas pemimpin, ia memimpin kelompok anak-anak di lingkungannya ketika memancing dan bermain sepak bola. Ketiga saudara ini bersekolah di sekolah untuk suku Jawa yang dikepalai oleh ayah mereka, oleh sebab itu mereka menerima perlakuan khusus. Hal ini menyebabkan mereka menjadi nakal dan berpuas diri.

Pada tahun kedua sekolahnya, Sidik jatuh dari pohon kemiri dan kehilangan kesadaran.Setelah sadar, ibunya mengirim surat kepada Widjojokoesoemo, mengungkapkan bahwa nama Sidik adalah penyebab perilaku buruknya. Sebagai balasan, Widjojokoesoemo menyarankan bahwa Sidik harus diganti dengan Oerip, yang berarti "selamat".Saat ia sembuh, keluarganya memutuskan untuk menamainya kembali dengan nama Oerip, meskipun kelakuannya tetap saja buruk. Ia kemudian dikirim ke Sekolah Putri Belanda (Europese Lagere Meisjesschool); sekolah untuk putra sudah penuh dan orangtuanya berharap bahwa sekolah putri akan meningkatkan kemampuan Oerip dalam berbahasa Belanda, juga mengubah temperamennya.Setelah belajar satu tahun di sekolah putri, Oerip menjadi lebih kalem, ia lalu dikirim ke sekolah Belanda untuk putra.Meskipun demikian, nilai akedemiknya tetap buruk. Pada tahun terakhirnya di sekolah dasar, ia sering mengunjungi teman ayahnya, seorang mantan tentara yang pernah bertugas di Aceh selama dua puluh tahun, untuk mendengarkan cerita dari pria tua itu. Hal ini kemudian menginspirasi Oerip untuk bergabung dengan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).

Setelah lulus ujian calon pegawai negeri dan persiapan selama beberapa bulan, Oerip pindah ke Magelang pada tahun 1908 untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (Opleidingsschool Voor Inlandse Ambtenaren, atau OSVIA); orangtuanya ingin Oerip menjadi bupati seperti kakeknya. Setahun kemudian, adik-adiknya menyusulnya ke OSVIA.  Setelah ibunya meninggal dunia pada tahun1909, Oerip tenggelam dalam depresi selama berbulan-bulan dan berubah menjadi penyendiri.

Pada tahun terakhirnya di OSVIA, Oerip memutuskan untuk mendaftar ke akademi militer di Meester Cornelis, Batavia (kini Jatinegara, Jakarta). Ia berangkat ke sana langsung dari Magelang, dan mengatakan kepada adik-adiknya untuk memberitahu ayah mereka, yang tidak setuju dengan pilihan putranya.Soemohardjo pada awalnya berusaha untuk membujuk putranya agar kembali ke OSVIA dengan memberinya uang 1.000 gulden, tapi akhirnya menyetujui pilihan Oerip untuk masuk akademi militer.[Setelah pelatihan, yang menurutnya menyenangkan, Oerip lulus dari akademi militer pada bulan Oktober 1914 dan menjadi letnan dua di KNIL.

KNIL
Setelah mengunjungi ayahnya di Purworejo selama beberapa hari, Oerip kembali ke Meester Cornelis, tempat ia menjabat di Batalion XII.Meskipun ia adalah pria terkecil dan satu-satunya pribumi di unitnya,ia diserahi jabatan pemimpin. Satu setengah tahun kemudian, ia dikirim ke Banjarmasin, Borneo. Setelah melewati masa-masa berpatroli di belantara Puruk Cahu dan Muara Tewe, ia dikirim ke Tanah Grogot, kemudian ke Balikpapan. Saat ditempatkan di sana, Oerip dipromosikan menjadi letnan satu, namun menghadapi diskriminasi dari tentara Belanda karena ia berasal dari kalangan pribumi. Di Banjarmasin, ia meyakinkan komandannya untuk mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan perwira non-Belanda bergabung dengan tim sepak bola, dan pada tahun 1917 ia telah menerima status hukum yang sama dengan tentara Belanda. Setelah Balikpapan, Oerip dikirim ke Samarinda, Tarakan, dan terakhir ke Malinau.

Di Meester Cornelis, Oerip mulai menjalankan latihan militer; saat ditempatkan di sana, ayahnya meninggal dunia.Pada 1933, ia dikirim ke Padang Panjang di Sumatera untuk menangani kerusuhan yang menewaskan beberapa perwira Belanda. Di Padang Panjang, ia melalui hari-harinya tanpa banyak peristiwa, dan bulan Juli 1935 ia diberi cuti untuk bepergian ke Eropa sekali lagi.Oerip juga dipromosikan menjadi mayor pada saat itu, yang menjadikannya sebagai perwira pribumi dengan pangkat tertinggi di KNIL.Setahun kemudian, setelah kembali ke Hindia, ia ditempatkan di Purworejo. Pada pertengahan 1938, setelah berselisih dengan bupati setempat, Oerip dipindahkan ke Gombong; ia menolaknya, dan kemudian keluar dari KNIL dan pindah ke rumah mertuanya di Yogyakarta.

Warga sipil dan pendudukan Jepang
Di Yogyakarta, Oerip yang tidak bekerja menghabiskan waktunya dengan berkebun anggrek. Setiba di Yogyakarta, istrinya membeli sebuah vila di Gentan, di sebelah utara kota. Meskipun vilanya kecil, pasangan tersebut memanfaatkan lahan seluas 2 hectares (4.9 acres) untuk berkebun bunga,dengan biaya hidup berasal dari uang pensiun Oerip di KNIL. Di vilanya, yang bernama KEM (Klaarheid en Moed, atau "Kemurnian dan Keberanian"), Oerip kerap menerima tamu, baik yang berasal dari kalangan militer maupun warga sipil. Lewat tamu-tamu ini, ia menerima informasi mengenai peristiwa terkini dan memberikan saran tentang masalah-masalah militer dan politik. Pada tahun 1940, pasangan ini mengadopsi seorang gadis Belanda berusia empat tahun bernama Abby dari sebuah panti asuhan di Semarang.

Tak lama kemudian, pada tanggal 10 Mei 1940, setelah Jerman Nazi menginvasi Belanda, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Tiga hari setelah melapor kepada Kolonel Pik di Magelang, ia berangkat ke markas KNIL di Bandung. Di sana, ia menjadi perwira pensiunan pertama yang melapor. Setelah itu, Oerip bersama keluarganya dipindahkan ke Cimahi, dan ia ditugaskan untuk membangun depo batalion baru. beberapa perwira pribumi ditempatkan di bagian utara Hindia pada tahun 1941 untuk berjaga-jaga jika Kekaisaran Jepang menyerang, namun Oerip tetap berada di Cimahi.

Revolusi Nasional Indonesia dan kematian
Markas TKR pertama di Gondokusuman, Yogyakarta; saat ini menjadi Museum Dharma Wiratama.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Oerip dan keluarganya meninggalkan KEM dan pindah ke rumah orangtua Rohmah di Yogyakarta.Setelah Badan Keamanan Rakyat (BKR) didirikan pada tanggal 23 Agustus, Oerip memimpin sekelompok komandan militer mengajukan petisi untuk membentuk formasi militer nasional. Sementara itu, kelompok terpisah yang dipimpin oleh politisi Oto Iskandar di Nata menginginkan agar BKR menjadi organisasi kepolisian. Para pemimpin politik, yang terdiri dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, sepakat untuk berunding; BKR akhirnya ditetapkan sebagai organisasi kepolisian, tapi sebagian besar anggotanya pernah bertugas di militer, baik Pembela Tanah Air (PETA) maupun Heihō.

Pada 14 Oktober 1945 – sembilan hari setelah Tentara Keamanan Rakyat didirikan secara resmi – Oerip ditetapkan sebagai Kepala Staff dan panglima sementara, dan segera berangkat menuju Jakarta.Dalam rapat kabinet keesokan harinya, Oerip diperintahkan untuk membentuk angkatan perang nasional yang bermarkas di Yogyakarta, dalam persiapan untuk menghadapi serangan yang mungkin akan dilancarkan oleh pasukan Belanda untuk merebut kembali Hindia.Ia berangkat ke Yogyakarta pada 16 Oktober, dan tiba keesokan harinya. Oerip pertama-tama mendirikan markas di sebuah kamar di Hotel Merdeka, yang digunakannya sampai Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono IX menyumbangkan tanah dan bangunan untuk digunakan oleh para tentara.

Seorang pria memakai peci menatap lurus ke depan
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Jenderal Soedirman – komandan Divisi V Purwokerto yang hanya memiliki dua tahun pengalaman militer dan 23 tahun lebih muda dari Oerip – terpilih sebagai panglima angkatan perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu. Pada tahap ketiga, Oerip meraih 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara. Komandan divisi Sumatera semuanya sepakat untuk memilih Soedirman;Oerip tidak terpilih karena beberapa komandan divisi mencurigai riwayat hidupnya dan sumpah yang ia ucapkan kepada Belanda saat ia lulus di KNIL.Soedirman terkejut dengan hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para peserta pertemuan tidak mengizinkan; Oerip sendiri merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas angkatan perang. Soedirman tetap mempertahankan Oerip dan mengangkatnya sebagai kepala staff dengan pangkat letnan jenderal. Sebelum pemerintah melantik Soedirman sebagai panglima besar, Oerip secara de jure tetap menjadi pemimpin, namun wartawan Salim Said menulis bahwa perintah Oerip sulit dipahami karena kemampuan berbahasa Indonesia-nya yang buruk, dan perintahnya seringkali ditolak kecuali jika telah disetujui oleh Soedirman.

Setelah Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada 18 Desember, ia mulai berupaya untuk mengonsolidasikan dan mempersatukan angkatan perang, sedangkan Oerip bertugas menangani masalah-masalah teknis dan organisasi. Banyak rincian-rincian, seperti pemberlakuan seragam tentara, ia limpahkan penanganannya kepada komandan daerah.Namun, untuk menangani masalah-masalah penting, ia mengeluarkan perintah yang berlaku secara nasional, misalnya perintah untuk membentuk polisi militer dan mencegah pasukan penerjun payung musuh mendarat.

Bersama-sama, Soedirman dan Oerip berhasil mengatasi ketidaksepahaman antara mantan tentara PETA dan KNIL. Sementara itu, pemerintah mengganti nama angkatan perang sebanyak dua kali pada bulan Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakyat, kemudian diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada 23 Februari 1946, Oerip ditunjuk untuk mengepalai Panitia Besar Reorganisasi Tentara, yang dibentuk melalui keputusan presiden. Setelah berunding selama empat bulan, pada 17 Mei panitia menyerahkan rekomendasi kepada Presiden Soekarno. Oerip ditugaskan untuk menangani proses perampingan angkatan perang, sedangkan Menteri Pertahanan diberi kekuasaan birokrasi yang lebih besar. Soedirman tetap dipertahankan sebagai panglima angkatan perang.

Setelah Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin mulai membentuk kelompok-kelompok pro-kiri dalam tubuh militer, Oerip mulai curiga dan mengecam upaya pemerintah yang memanfaatkan militer untuk kepentingan politik.Meskipun demikian, ia dan Soedirman terus berupaya untuk memastikan bahwa pasukan paramiliter (laskar), yang muncul dari kalangan masyarakat umum, adalah bagian dari militer. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil pada tanggal 3 Juni 1947, ketika pemerintah mengumumkan untuk mempersatukan laskar dan TRI menjadi organisasi militer baru bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sementara itu, Oerip mendirikan sebuah akademi militer di Yogyakarta.

Makam Oerip di Yogyakarta.
Setelah beberapa bulan berada dalam kondisi lemah dan menjalani perawatan dari Dr. Sim Ki Ay, pada malam 17 November 1948 Oerip ambruk dan wafat di kamarnya di Yogyakarta akibat serangan jantung. Setelah disemayamkan selama semalam, ia dikebumikan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Semaki dan secara anumerta dipromosikan sebagai jenderal.Saat Soedirman mengancam akan mengundurkan diri pada tahun 1949, ia menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah selama revolusi-lah yang menyebabkan kematian Oerip, dan juga penyebab penyakit TBC yang diidapnya. Oerip meninggalkan seorang istri dan putri angkat bernama Abby. Abby meninggal dunia karena malaria pada Januari 1951,dan Rohmah wafat pada tanggal 29 Oktober di Semarang; ia dimakamkan di Ungaran.

Warisan
Oerip menerima sejumlah tanda kehormatan dari pemerintah secara anumerta, termasuk Bintang Sakti (1959), Bintang Mahaputra (1960), Bintang Republik Indonesia Adipurna (1967), dan Bintang Kartika Eka Pakçi Utama (1968). Pada tanggal 10 Desember 1964, Oerip ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Soedirman juga dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh keputusan yang sama.

Pada tanggal 22 Februari 1964, akademi militer Indonesia di Magelang mendedikasikan sebuah tugu untuk dirinya, dan menggambarkan Oerip sebagai "seorang putra Indonesia yang mengagungkan karya daripada kata, yang mengutamakan Dharma daripada minta." Gereja Katolik di akademi tersebut juga mempersembahkan sebuah dedikasi untuk Oerip sejak tahun 1965, yang berawal dari perbincangan antara Rohmah dan teman misionarisnya.Beberapa jalan juga dinamakan untuk menghormati Oerip, termasuk di kampung halamannya Purworejo, di Yogyakarta,dan di ibu kota Jakarta.