Sudharmono (Wakil Presiden Indonesia ke-5) | Tokoh Inspiratif

Sudharmono (Wakil Presiden Indonesia ke-5)

Soedharmono
Informasi pribadi :
    Gambar Sudharmono2
  • Lahir  : 12 Maret 1927
  • Meninggal  : 25 Januari 2006 (umur 78)
  • Partai politik : Golkar
  • Suami/istri : Emma Norma
  • Profesi : Militer
  • Agama : Islam
  • Pengabdian : Indonesia
  • Dinas/cabang : Lambang TNI AD.png TNI Angkatan Darat
  • Masa dinas : 1945-1968
  • Pangkat : Pdu letjendtni staf.png Letnan Jenderal
  • Komando : Divisi Ronggolawe, Komando Operasi Tertinggi (KOTI)
  • Perang : Revolusi Nasional Indonesia
  • Konfrontasi  : Indonesia-Malaysia
Letnan Jenderal TNI (Purn.) H. Soedharmono, S.H (lahir di Cerme, Gresik, Jawa Timur, Indonesia, 12 Maret 1927 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 25 Januari 2006 pada umur 78 tahun) adalah wakil presiden indonesia kelima yang menjabat selama periode 1988-1993.

Awal Kehidupan
Lahir di Cerme, Gresik, Jawa Timur pada tanggal 12 Maret 1927 ia sudah menjadi yatim piatu dari kecil. Ibunya Soekarsi meninggal ketika melahirkan adik bungsu Soedharmono (1930). Ayahnya R. Wiroredjo meninggal 6 bulan kemudian karena sakit.Sudharmono kemudian pergi untuk tinggal bersama pamannya, seorang juru tulis yang bekerja untuk Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Walaupun demikian, selama dibesarkan ia banyak berpindah-pindah untuk tinggal bersama sejumlah sanak keluarganya, baik dari pihak ibu maupun ayahnya.

Soedharmono baru saja menyelesaikan sekolah menengah pertama ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari Belanda pada tahun 1945. Setelah memutuskan untuk berhenti dari pendidikan lanjutan, Soedharmono turut membantu mengumpulkan senjata dari tentara Jepang dalam persiapan pembentukan Tentara Nasional Indonesia. Hasilnya, ia menjadi Panglima Divisi Ronggolawe, posisi yang terus dipegangnya selama Perang Kemerdekaan Indonesia melawan pasukan Belanda yang kembali menyerang Indonesia.

Karier
Setelah Belanda mundur pada tahun 1949, Soedharmono menyelesaikan pendidikan lanjutan sebelum pergi ke Jakarta pada tahun 1952 untuk bergabung dengan Akademi Hukum Militer. Ia menyelesaikan studinya pada tahun 1956 sebelum bertugas di Medan, Sumatera Utara sebagai Jaksa Militer pada 1957-1961. Pada tahun 1962, Soedharmono memperoleh gelar dalam bidang hukum setelah menyelesaikan studinya di Universitas Hukum Militer. Setelah ini, Soedharmono diangkat Ketua Personil Pesanan Satuan Kerja Pemerintah Pusat dan memberikan bantuan administrasi kepada pemerintah.

Selama Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Presiden Soekarno membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI), yang merupakan perintah perang segera di bawah kendali Soekarno. Pada tahun 1963, Sudharmono bergabung KOTI dan diberi peran Anggota Pusat Operasi Bersama untuk Operasi Agung

Masa Orde Baru
Dalam zaman Orba, karirnya menanjak. Pada Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat dan bergabung dengan KOTI sebagai Kepala Staf. Soeharto menjalin hubungan dengan Sudharmono pada saat masa-masa tegang dalam sejarah Indonesia. Dengan hal ini jelaslah bahwa Sudharmono mendapatkan kepercayaan Soeharto. Pada 11 Maret 1966, ketika Soeharto menerima Supersemar dari Soekarno, Sudharmonolah yang menyalin salinan surat yang akan didistribusikan kepada Perwira Militer lainnya. Keesokan harinya, pada tanggal 12 Maret tahun 1966, Sudharmono juga ikut untuk menulis dekrit pelarangan PKI.

Dengan naiknya Soeharto ke kekuasaan, KOTI dibubarkan tapi keterampilan administrasi Sudharmono dan kepercayaan dari Soeharto memastikan kedudukannya dalam pemerintahan Soeharto. Ketika Soeharto menjadi presiden pada tahun 1968, Sudharmono menjadi Sekretaris Kabinet serta Ketua Dewan Stabilitas Ekonomi. Pada tahun 1970, Sudharmono dipindahkan dari posisi Sekretaris Kabinet menjadi Sekretaris Negara, posisi yang memungkinkan ia untuk membantu Soeharto. Selain menjadi Mensesneg, Sudharmono juga menggantikan menteri lain secara sementara ketika mereka tidak dapat melaksanakan tugasnya seperti menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Dalam Negeri serta membantu untuk membuat pidato pertanggungjawaban Soeharto sebelum Sidang Umum MPR. Pada tahun 1980, posisi Sudharmono sebagai Sekretaris Negara menerima dorongan signifikan melalui Keputusan Presiden yang memberikan Sekretaris Negara kekuatan untuk mengawasi pembelian pemerintah melebihi 500 juta rupiah.

Sebagai Ketua Golkar
Pada tahun 1980, Sudharmono telah membuktikan kesetiaannya kepada Soeharto dan juga menunjukkan bahwa ia tidak memiliki suatu ambisi. Pada Munas Golkar III (1983), dengan dukungan Soeharto, Sudharmono terpilih sebagai Ketua Golkar.

Sebagai Ketua, Sudharmono banyak melakukan inspeksi keliling cabang Golkar di daerah. Sudharmono juga menggerakan anggota Golkar untuk mendapatkan lebih banyak pemilih Golkar, hasilnya suara Golkar meningkat dari 64% menjadi 72% pada Pemilu 1987.

Sebagai Wakil Presiden
Kontroversi pencalonan
Ketika sidang Umum MPR tahun 1988, banyak yang yakin Soeharto akan terpilih kembali untuk periode kelima dan terakhir sebagai presiden. Dengan begitu, Wakil Presiden menjadi posisi yang penting. Pada tahun 1988, Soeharto mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa ia ingin Sudharmono menjadi wakil presidennya. Meskipun tidak pernah menyebutkan Sudharmono, Soeharto mengatakan bahwa ia ingin Wapres-nya mempunyai dukungan dari kekuatan sosial politik yang besar.

Kemungkinan Sudharmono menjadi Wakil Presiden tidak disenangi banyak orang di ABRI. Meskipun Sudharmono sendiri seorang tentara dan telah mengakhiri kariernya dengan pangkat Letnan Jenderal, ia telah menghabiskan sebagian besar kariernya di belakang meja bukannya memimpin pasukan. Hal ini membuat dirinya dipandang rendah oleh ABRI. Soeharto menyadari hal ini dan sebelum ABRI bisa melakukan apa saja, Panglima ABRI Benny Moerdani diganti dengan Try Sutrisno. Langkah ini menghalangi ABRI karena Moerdani lebih kuat saat tidak menyetujui presiden sementara Try akan lebih pasif.

Sudharmono sendiri dijagokan partai Golkar unsur sipil (jalur G) dan birokrat (jalur B). Sementara Jenderal TNI Try Sutrisno yang menjabat Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab), dijagokan oleh Partai Golkar unsur militer (jalur A) yang dimotori Menkopolkam LB Moerdani. Masing-masing kubu punya kepentingan dalam kancah politik nasional. Puncaknya adalah ketika Sudharmono dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan itu ditepis dengan adanya penunjukan Sudharmono untuk menjabat sebagai Wakil Presiden oleh Soeharto.

Pada Sidang Umum MPR Maret 1988, kontroversi terus mewarnai nominasi Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Ketua Partai Persatuan Pembangunan, Jaelani Naro mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden. Kemudian Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh menginterupsi sidang. Dia mengucapka pidato yang tidak jelas. Intinya, tidak setuju calon wakil presiden yang sudah diproses. Naro baru mundur pada detik-detik akhir pemilihan, setelah dilobi oleh Awaloedin Djamin. Kemudian Sarwo Edhie Wibowo, seorang jenderal yang telah membantu Soeharto mendapatkan kekuasaan di pertengahan 60-an mengundurkan diri dari MPR dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai protes.

Soeharto akhirnya turun tangan. Ia mencontohkan keputusan MPR yang dibuat pada tahun 1973 bahwa salah satu kriteria untuk Wakil Presiden adalah ia harus mampu bekerja dengan Presiden. Dengan pengunduran diri Naro, Sudharmono akhirnya terpilih sebagai Wakil Presiden.

Jabatan Wakil Presiden
Sebagai Wakil Presiden, Sudharmono sangat aktif. Ia memulai kunjungan ke provinsi RI serta ke Departemen, Kantor Negara dan Lembaga Departemen Non Pemerintah, dan membentuk Tromol Pos 5000, tempat di mana orang-orang dapat mengirim saran dan keluhan dan pemerintah mereka. Sudharmono yang merupakan spesialis dalam memberikan bantuan administratif, juga diberi tugas oleh Soeharto untuk mengawasi birokrasi pemerintah.

Namun ABRI tetap menunjukkan ketidaksenangan mereka pada pemilihan Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Di Munas Golkar (Oktober 1988), ABRI membalas dendam mereka kepada Sudharmono ketika mereka menjaga pemilihan Wahono sebagai Ketua Golkar. Anggota ABRI juga bertanggung jawab untuk kampanye kotor yang menuduh Sudharmono sebagai seorang komunis. Akhirnya pada Maret 1993 untuk mencegah harus berurusan dengan Wakil Presiden, Try Sutrisno segera dicalonkan oleh ABRI sebagai Wakil Presiden tanpa menunggu Soeharto untuk membuat pilihannya.

Kemungkinan menjadi Presiden?
Dalam bukunya "Suharto: A Political Biography", Robert Elson berteori tentang kemungkinan jabatan Wakil Presiden Sudharmono menjadi langkah terakhir sebelum menjadi Presiden Indonesia sendiri dan bahwa Soeharto melanjutkan jabatannya hanya karena reaksi terhadap pencalonan Sudharmono. Ada dua alasan untuk ini:
  • 1: Sebagai Sekretaris Negara, tugas Sudharmono adalah membantu Presiden dalam administrasi sehari-hari pemerintah. Setelah memegang posisi ini selama 18 tahun sebelum terpilih Wakil Presiden, Sudharmono yakin dirinya akrab dengan rezim Soeharto.
  • 2: ABRI tidak akan secara ekstrim menunjukkan ketidaksenangan mereka pada Wapres terpilih Sudharmono jika mereka tidak mengharapkan efek jangka panjang.
Pasca wapres
Pada tahun 1997, Sudharmono merilis otobiografi dirinya, berjudul "Pengalaman Dalam Masa Pengabdian". Secara bersamaan suatu buku juga dirilis berjudul "Kesan Dan Kenangan Bahasa Dari Teman: 70 Tahun H. Sudharmono SH" yang berbicara tentang Sudharmono dari sudut pandang orang-orang yang memperkerjakannya. Karena penerbitan buku-buku ini terjadi setahun sebelum Sidang Umum MPR 1998, ada rumor bahwa Sudharmono akan membuat comeback politik dan menjadi wapres sekali lagi.

Pada Mei 1998, pada malam jatuhnya Soeharto, Sudharmono, bersama dengan mantan wakil presiden Umar Wirahadikusumah dan Try Sutrisno mengunjungi Soeharto di kediamannya untuk membahas opsi yang memungkinkan. Sudharmono juga terus mengelola 7 yayasan milik Soeharto.

Kematian sampai pemakaman
Rabu malam, 25 Januari 2006, sekitar pukul 19.40 WIB, Sudharmono meninggal dunia setelah menjalani perawatan selama dua pekan di Rumah Sakit MMC, Jakarta, sejak 10 Januari 2006. Ia meninggalkan seorang istri, Emma Norma, dan tiga orang anak. Esok paginya, ia dimakamkan di TMP Kalibata dengan pimpinan upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sumber : Wikipedia