Alex Kawilarang
Informasi pribadi :
Latar belakang
Alex lahir dari sebuah keluarga militer. Ayahnya, A.H.H. Kawilarang, adalah seorang mayor KNIL asal Tondano, sementara itu ibunya, Nelly Betsy Mogot, berasal dari Remboken. Kawilarang, seorang suku Minahasa dari sub-suku Toulour. Dia Juga Merupakan Sepupu dari Pahlawan Nasional Daan Mogot
Pendidikan
Alex menempuh pendidikan dasarnya di sebuah Europeesche Lagere School (ELS), mula-mula di Tjandi, Semarang dan kemudian di Tjimahi, Jawa Barat. Selesai dari situ, ia melanjutkan ke Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang ditempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung), setara dengan SMP/SMA yang lamanya 5 tahun.
Selesai dari pendidikan menengahnya, Alex mengikuti jejak ayahnya dan mengikuti pendidikan militer, mula-mula di Corps Opleiding Reserve Officeren (CORO) (Korps Pendidikan Perwira Cadangan KNIL) (1940), yang dilanjutkannya ke Koninklijk Militaire Academie (Akademi Militer Kerajaan) (KMA) darurat di Bandoeng dan Garoet, Jawa Barat (1940-1942).
Kelak ia juga sempat mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando AD (SSKAD) di Jakarta.
Karier sebagai militer
Kawilarang mengawali kariernya sebagai Komandan Pleton Kadet KNIL di Magelang pada bulan 1941-1942. Pada 11 Desember 1945 ia menjadi perwira penghubung dengan pasukan Inggris di Djakarta dengan pangkat mayor. Pada Januari 1946 ia menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Infanteri Bogor Divisi II Jawa Barat, dengan pangkat letnan kolonel. Tiga bulan setelah itu, pada April-Mei 1946, ia diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri Bogor, dan pada bulan Agustus 1946 hingga 1947 ia diberi kepercayaan sebagai Komandan Brigade II/Suryakencana - Divisi Siliwangi di Sukabumi, Bogor dan Tjiandjur.
Pada 1948-1949, Kawilarang menjabat sebagai Komandan Brigade I Divisi Siliwangi di Yogyakarta, dan pada 28 November 1948 ia juga menjabat sebagai Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli, Sumatera Timur bagian selatan, lalu pada 1 Januari 1949 pada masa PDRI ia dipercaya sebagai Wakil Gubernur Militer PDRI untuk wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur bagian selatan.
Pada 28 Desember 1949 ia menjabat sebagai Gubernur Militer wilayah Aceh dan Sumatera Utara merangkap Wakil Koordinator Keamanan dengan pangkat kolonel. Pada 21 Februari 1950, ia mendapatkan kepercayaan tambahan sebagai Panglima Tentara dan Territorium I/Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan.
Pada 1951-1956, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Komando Tentara dan Territorium VII/Indonesia Timur (TTIT) di Makassar dan pada November tahun yang sama menjadi Panglima TT III/Siliwangi yang di kemudian hari diubah namanya menjadi Kodam III/Siliwangi. Sebelumnya pada 15 April 1950 ia telah diangkat sebagai Panglima Operasi Pasukan Ekspedisi.
Dalam kedudukannya ini, Kawilarang memimpin Pasukan Ekspedisi dalam Operasi Penumpasan Pemberontakan Andi Azis di Makassar, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan Pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Pada April 1951, ia merintis pembentukan komando pasukan khusus TNI dengan nama Kesatuan Komando Territorium III (Kesko TT-III) Siliwang. di Batujajar, Jawa Barat. Kesatuan ini merupakan cikal bakal dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sekarang.
Pada 10 November 1951 hingga 14 Agustus 1956, Kawilarang diangkat menjadi Panglima Komando Tentara dan Territorium III/Siliwangi yang berkedudukan di Bandung.
Pada 17 Oktober 1952, Kawilarang bersama-sama dengan sejumlah tokoh militer lainnya (a.l. A.H. Nasution, T.B. Simatupang, dll), terlibat dalam apa yang dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober, yang menentang campur tangan pemerintah dalam urusan militer.
Menempeleng Soeharto
Kawilarang dikenal sebagai panglima yang pernah menampar Letkol. Soeharto yang saat itu adalah salah seorang bawahannya.
Pada tahun 1950-an, sebagai Panglima Wirabuana, Kawilarang baru saja melapor kepada Presiden Soekarno bahwa keadaan di Makassar sudah aman. Namun Soekarno malah menyodorkan sebuah radiogram yang baru saja diterimanya yang melaporkan bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar. Ternyata Brigade Mataram, pasukan yang seharusnya mempertahankan kota Makassar, telah melarikan diri ke lapangan udara Mandai.
Kawilarang marah besar dan segera kembali ke Makassar. Setibanya di lapangan udara ia langsung memarahi komandan Brigade Mataram, Letkol Soeharto, sambil menempelengnya.
Bergabung dengan Permesta
Dari September 1956 hingga Maret 1958 Kawilarang menjabat sebagai atase militer pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington, DC, Amerika Serikat, dengan pangkat brigadir jenderal. Ketika pemberontakan PRRI/Permesta meletus di tanah air, Kawilarang segera melepaskan jabatannya sebagai atase militer lalu minta pensiun. Ia kembali ke tanah air dan langsung ke Sulawesi Utara untuk menjabat sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI (1958) dan Kepala Staf Angkatan Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat mayor jenderal dari Februari 1959 hingga Februari 1960.
Pada 1960-1961, Kawilarang menjabat sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Permesta.
Pihak Permesta akhirnya turun gunung dan bersedia berunding dengan pihak tentara Republik Indonesia yang dipimpin oleh Jend. Nasution. Menurut Kawilarang, sebelumnya telah tercapai kesepakatan bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak komunis di Jawa. Karenanya, Kawilarang merasa menyesal ketika Nasution tidak memegang janjinya.
Pada 1961, Kawilarang menerima amnesti dan abolisi dari Presiden Soekarno melalui Keppres 322/1961. Namanya kemudian direhabilitasi. Kawilarang kemudian pensiun dari dinas TNI, namun pangkatnya diturunkan menjadi kolonel purnawirawan.
Kehidupan sebagai swasta
Pada Akhir 1960an, ia pernah mengajukan proposal untuk pendirian pabrik tepung terigu, bahkan diberikan izin oleh Soemitro Djojohadikoesoemo, selaku Menteri Perindustrian dan Perdagangan saat itu, ternyata tidak jadi karena izin dilalihkan olek Soeharto kepada Bogasari. Pada 1972 Kawilarang menjabat sebagai wakil manajer umum Jakarta Racing Management, yang mengelola pacuan kuda di Pulomas, Jakarta Timur.
Masa tua dan kematian
Pada 15 April 1999, Kawilarang akhirnya memperoleh pengakuan atas jasa-jasanya dalam ikut membentuk Kopassus. Pada peringatan hari jadi Korps tersebut yang ke-47, Kawilarang diterima sebagai Warga Kehormatan Kopassus di Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Sebagai tandanya, ia dianugerahi sebuah baret merah dan pisau komando.
Pada 6 Juni 2000, Kawilarang meninggal dunia akibat komplikasi beberapa penyakit di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan dimakamkan dua hari kemudian di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Des Alwi, seorang tokoh pemuda 1945 menyebut Kawilarang sebagai seorang tentara asli yang jujur dan tidak main politik. Tindakannya menempeleng Soeharto tampaknya tidak pernah dimaafkan oleh presiden kedua RI itu, sehingga sampai Kawilarang meninggal, ia tidak pernah berbicara dengan bekas atasannya itu. Baru setelah Soeharto turun dari jabatannya dan digantikan oleh B.J. Habibie, Kawilarang memperoleh penghargaan atas jasa-jasanya.
Keluarga
Kawilarang menikah dua kali: pertama dengan Petronella Isabella van Emden dan bercerai pada 1958, dan kedua dengan Henny Olga Pondaag, bekas istri Ventje Sumual, sahabatnya dalam perjuangan Permesta. Dari pernikahannya yang pertama, ia memperoleh dua orang anak; Aisabella Nelly Kawilarang dan Alexander Edwin Kawilarang. Dari pernikahannya yang kedua, ia memperoleh seorang anak Pearl Hazel Kawilarang.
Sumber : Wikipedia
Informasi pribadi :
- Lahir : 23 Februari 1920
- Meninggal : 6 Juni 2000 (umur 80)
- Pengabdian : Indonesia
- Lama dinas : 1945–1961
- Pangkat : Kolonel Purnawirawan (TNI)
- Panglima Besar : (Permesta)
- Kesatuan : KNIL (1941-1942)
- Komando : T & T III Siliwangi (TNI)
Latar belakang
Alex lahir dari sebuah keluarga militer. Ayahnya, A.H.H. Kawilarang, adalah seorang mayor KNIL asal Tondano, sementara itu ibunya, Nelly Betsy Mogot, berasal dari Remboken. Kawilarang, seorang suku Minahasa dari sub-suku Toulour. Dia Juga Merupakan Sepupu dari Pahlawan Nasional Daan Mogot
Pendidikan
Alex menempuh pendidikan dasarnya di sebuah Europeesche Lagere School (ELS), mula-mula di Tjandi, Semarang dan kemudian di Tjimahi, Jawa Barat. Selesai dari situ, ia melanjutkan ke Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang ditempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung), setara dengan SMP/SMA yang lamanya 5 tahun.
Selesai dari pendidikan menengahnya, Alex mengikuti jejak ayahnya dan mengikuti pendidikan militer, mula-mula di Corps Opleiding Reserve Officeren (CORO) (Korps Pendidikan Perwira Cadangan KNIL) (1940), yang dilanjutkannya ke Koninklijk Militaire Academie (Akademi Militer Kerajaan) (KMA) darurat di Bandoeng dan Garoet, Jawa Barat (1940-1942).
Kelak ia juga sempat mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando AD (SSKAD) di Jakarta.
Karier sebagai militer
Kawilarang mengawali kariernya sebagai Komandan Pleton Kadet KNIL di Magelang pada bulan 1941-1942. Pada 11 Desember 1945 ia menjadi perwira penghubung dengan pasukan Inggris di Djakarta dengan pangkat mayor. Pada Januari 1946 ia menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Infanteri Bogor Divisi II Jawa Barat, dengan pangkat letnan kolonel. Tiga bulan setelah itu, pada April-Mei 1946, ia diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri Bogor, dan pada bulan Agustus 1946 hingga 1947 ia diberi kepercayaan sebagai Komandan Brigade II/Suryakencana - Divisi Siliwangi di Sukabumi, Bogor dan Tjiandjur.
Pada 1948-1949, Kawilarang menjabat sebagai Komandan Brigade I Divisi Siliwangi di Yogyakarta, dan pada 28 November 1948 ia juga menjabat sebagai Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli, Sumatera Timur bagian selatan, lalu pada 1 Januari 1949 pada masa PDRI ia dipercaya sebagai Wakil Gubernur Militer PDRI untuk wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur bagian selatan.
Pada 28 Desember 1949 ia menjabat sebagai Gubernur Militer wilayah Aceh dan Sumatera Utara merangkap Wakil Koordinator Keamanan dengan pangkat kolonel. Pada 21 Februari 1950, ia mendapatkan kepercayaan tambahan sebagai Panglima Tentara dan Territorium I/Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan.
Pada 1951-1956, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Komando Tentara dan Territorium VII/Indonesia Timur (TTIT) di Makassar dan pada November tahun yang sama menjadi Panglima TT III/Siliwangi yang di kemudian hari diubah namanya menjadi Kodam III/Siliwangi. Sebelumnya pada 15 April 1950 ia telah diangkat sebagai Panglima Operasi Pasukan Ekspedisi.
Dalam kedudukannya ini, Kawilarang memimpin Pasukan Ekspedisi dalam Operasi Penumpasan Pemberontakan Andi Azis di Makassar, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan Pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Pada April 1951, ia merintis pembentukan komando pasukan khusus TNI dengan nama Kesatuan Komando Territorium III (Kesko TT-III) Siliwang. di Batujajar, Jawa Barat. Kesatuan ini merupakan cikal bakal dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sekarang.
Pada 10 November 1951 hingga 14 Agustus 1956, Kawilarang diangkat menjadi Panglima Komando Tentara dan Territorium III/Siliwangi yang berkedudukan di Bandung.
Pada 17 Oktober 1952, Kawilarang bersama-sama dengan sejumlah tokoh militer lainnya (a.l. A.H. Nasution, T.B. Simatupang, dll), terlibat dalam apa yang dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober, yang menentang campur tangan pemerintah dalam urusan militer.
Menempeleng Soeharto
Kawilarang dikenal sebagai panglima yang pernah menampar Letkol. Soeharto yang saat itu adalah salah seorang bawahannya.
Pada tahun 1950-an, sebagai Panglima Wirabuana, Kawilarang baru saja melapor kepada Presiden Soekarno bahwa keadaan di Makassar sudah aman. Namun Soekarno malah menyodorkan sebuah radiogram yang baru saja diterimanya yang melaporkan bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar. Ternyata Brigade Mataram, pasukan yang seharusnya mempertahankan kota Makassar, telah melarikan diri ke lapangan udara Mandai.
Kawilarang marah besar dan segera kembali ke Makassar. Setibanya di lapangan udara ia langsung memarahi komandan Brigade Mataram, Letkol Soeharto, sambil menempelengnya.
Bergabung dengan Permesta
Dari September 1956 hingga Maret 1958 Kawilarang menjabat sebagai atase militer pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington, DC, Amerika Serikat, dengan pangkat brigadir jenderal. Ketika pemberontakan PRRI/Permesta meletus di tanah air, Kawilarang segera melepaskan jabatannya sebagai atase militer lalu minta pensiun. Ia kembali ke tanah air dan langsung ke Sulawesi Utara untuk menjabat sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI (1958) dan Kepala Staf Angkatan Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat mayor jenderal dari Februari 1959 hingga Februari 1960.
Pada 1960-1961, Kawilarang menjabat sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Permesta.
Pihak Permesta akhirnya turun gunung dan bersedia berunding dengan pihak tentara Republik Indonesia yang dipimpin oleh Jend. Nasution. Menurut Kawilarang, sebelumnya telah tercapai kesepakatan bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak komunis di Jawa. Karenanya, Kawilarang merasa menyesal ketika Nasution tidak memegang janjinya.
Pada 1961, Kawilarang menerima amnesti dan abolisi dari Presiden Soekarno melalui Keppres 322/1961. Namanya kemudian direhabilitasi. Kawilarang kemudian pensiun dari dinas TNI, namun pangkatnya diturunkan menjadi kolonel purnawirawan.
Kehidupan sebagai swasta
Pada Akhir 1960an, ia pernah mengajukan proposal untuk pendirian pabrik tepung terigu, bahkan diberikan izin oleh Soemitro Djojohadikoesoemo, selaku Menteri Perindustrian dan Perdagangan saat itu, ternyata tidak jadi karena izin dilalihkan olek Soeharto kepada Bogasari. Pada 1972 Kawilarang menjabat sebagai wakil manajer umum Jakarta Racing Management, yang mengelola pacuan kuda di Pulomas, Jakarta Timur.
Masa tua dan kematian
Pada 15 April 1999, Kawilarang akhirnya memperoleh pengakuan atas jasa-jasanya dalam ikut membentuk Kopassus. Pada peringatan hari jadi Korps tersebut yang ke-47, Kawilarang diterima sebagai Warga Kehormatan Kopassus di Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Sebagai tandanya, ia dianugerahi sebuah baret merah dan pisau komando.
Pada 6 Juni 2000, Kawilarang meninggal dunia akibat komplikasi beberapa penyakit di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan dimakamkan dua hari kemudian di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Des Alwi, seorang tokoh pemuda 1945 menyebut Kawilarang sebagai seorang tentara asli yang jujur dan tidak main politik. Tindakannya menempeleng Soeharto tampaknya tidak pernah dimaafkan oleh presiden kedua RI itu, sehingga sampai Kawilarang meninggal, ia tidak pernah berbicara dengan bekas atasannya itu. Baru setelah Soeharto turun dari jabatannya dan digantikan oleh B.J. Habibie, Kawilarang memperoleh penghargaan atas jasa-jasanya.
Keluarga
Kawilarang menikah dua kali: pertama dengan Petronella Isabella van Emden dan bercerai pada 1958, dan kedua dengan Henny Olga Pondaag, bekas istri Ventje Sumual, sahabatnya dalam perjuangan Permesta. Dari pernikahannya yang pertama, ia memperoleh dua orang anak; Aisabella Nelly Kawilarang dan Alexander Edwin Kawilarang. Dari pernikahannya yang kedua, ia memperoleh seorang anak Pearl Hazel Kawilarang.
Sumber : Wikipedia