Dewa Budjana
Informasi pribadi:
Ketertarikan dan bakat Dewa Budjana pada musik, khususnya gitar sudah sangat dominan, terlihat sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar di Klungkung Bali. Sampai-sampai, Budjana kecil pernah mencuri uang neneknya untuk sekedar memenuhi keinginannya membeli gitar pertamanya seharga 10.000 rupiah.
Sejak memiliki gitar pertama inilah yang membuat Budjana tidak lagi memiliki semangat untuk bersekolah, baginya gitar adalah nomor 1. Pada saat itu Budjana mempelajari sendiri teknik bermain gitar, dan dia mampu dengan cepat mahir mempelajari lagu Deddy Dores berjudul "Hilangnya Seorang Gadis" dan lagunya The Rollies berjudul "Setangkai Bunga", itupun disaat ia sama sekali belum tersentuh literatur-literatur musik(gitar) yang formal.
Budjana menjadi lebih bergairah dalam hal bermusik terlihat ketika dia pindah ke Surabaya, Jawa Timur di mana ia mengambil kursus musik klasik dan bergabung dengan sebuah band yang banyak berpartisipasi dalam pertunjukan musik. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas Budjana memutuskan hijrah ke Jakarta untuk mengejar mimpinya berkarier sebagai musisi profesional.
Perjalanan karier
Surabaya ke Jakarta
Pada tahun 1976 ketika menginjak usianya yang ke tiga belas, nama Budjana mulai terdengar di dunia musik di Surabaya. Kemudian, pada tahun 1981 dia membeli sebuah gitar listrik ( Aria Pro II) dan mulai bermain musik dengan banyak orang yang berbeda. Perlahan-lahan gaya musiknya mulai berubah dari rock, pop ke jazz. Saat itu ia mulai terpengaruh oleh John McLaughlin dari Mahavishnu Orchestra, Chick Corea, Gentle Giant, Kansas, Tangerine Dream, American Garage, Pat Metheny dan Allan Holdsworth.
Pada tahun 1980 Budjana mulai bergabung bersama Squirrel, band jazz pertama di sekolahnya di Surabaya. Squirrel sering ikut berpartisipasi dalam sejumlah acara musik nasional, termasuk Light Music Contest pada tahun 1984 di Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Meskipun banyak kontestan turut serta dalam ajang lomba tersebut namun Budjana sanggup mengungguli kompetisi tersebut dan terpilih menjadi pemain gitar terbaik. Satu tahun setelah itu, Budjana memutuskan untuk terbang ke Jakarta untuk mengembangkan karier musiknya. Perjalanan ini membawanya ke Jack Lesmana sebuah legenda jazz Indonesia, yang memperkenalkannya kepada musisi profesional lainnya. Dari ia Budjana banyak mengenal dan mendapatkan pengetahuan mengenai filosofi-filosofi dalam bermain jazz, termasuk tentu saja bermain standard jazz dengan lebih baik.
(1985-1993): Setelah di Jakarta
Meskipun Jack Lesmana memberikan Budjana banyak kesempatan dan peluang dalam karier bermusik di Indonesia namun Indralah yang pertama kali membujuknya untuk menjadi seorang session player. Setelah menjalani hidup di Jakarta Budjana akhirnya mulai beradaptasi dan banyak bergaul dengan musisi-musisi lokal yang baru ia kenal, bermain musik di kafe juga salah satu kegiatan rutinnya. Beruntung tidak berapa lama setelah itu Budjana mulai banyak mendapatkan tawaran untuk mengisi rekaman-rekaman kaset seperti pada album solo Indra Lesmana, Catatan si Boy II, Andre Hehanussa, Heidy Yunus, Memes, Chrisye, Mayangsari, Dewi Gita, Desy Ratnasari, Potret, Trakebah, Caesar (Deddy Dores), Nike Ardila dan lain-lain.
Beberapa tahun kemudian Budjana bergabung dengan Spirit band dan sempat merilis dua album bersama grup musik tersebut, yang pertama berjudul "Spirit" dan yang ke dua berjudul "Mentari". Beberapa tahun setelah itu Budjana memutuskan untuk keluar dari Spirit band dan bergabung dengan Java Jazz (Indra Lesmana). Ia juga sempat bermain dengan banyak band seperti Jimmy Manopo Band, Erwin Gutawa Orkestra, Elfa's Big Band dan Twilite Orchestra.
Di antara tahun 1989 - 1993 Budjana juga pernah membantu Indra Lesmana untuk mengajar di sekolah miliknya. Di sela-sela waktu mengajar itu kadang sering dipergunakan oleh Budjana untuk berlatih gitar secara trio atau jam session dengan siapapun di sekolah tersebut. Pada tahun 1993 Budjana bergabung dengan Indra Lesmana "Java Jazz" bersama Cendy Luntungan (drum) dan Jefrey Tahalele (bass akustik) dan sempat merilis satu album berjudul "Moon in Asia" atau "Bulan di Asia" dengan genre jazz yang agak progressive dicampur dengan sentuhan musik New Age. Bersama Java Jazz Budjana juga sering ikut berpartisipasi dalam banyak festival Jazz seperti North Sea Jazz Festival, World Jazz Convention di Den Haag, Belanda, Jak Jazz, Java Jazz festival dan banyak lagi.
(1994-kini): Bersama Gigi
"Gitarku……..hidupku" "Gitarku……..kekasihku" "Gitarku……..inspirasiku" "Gitarku……..karyaku" & "kupersembahkan gitarku."
Hingga saat ini Dewa Budjana masih bersama Gigi, band yang dibentuknya pada tahun 1994 bersama Baron (gitar), Thomas (bass), Armand Maulana (vokal) dan Ronald (drum). Sebelumnya pada tahun 1992 Budjana pernah menyampaikan keinginannya untuk membentuk grup musik dengan dua pemain gitar. Keinginannya tersebut baru terwujud dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1994. Dia membentuk band dengan formasi dua gitaris, berpasangan dengan Baron. Band itulah yang sekarang dikenal dengan nama GIGI. Awalnya perjalalanan Gigi terhitung cukup mulus, di albumnya yang ke dua yaitu "Dunia" Gigi sanggup mencentak penjualan yang cukup fantastis yaitu 400 ribu copy. Namun sayangnya setelah album tersebut Gigi harus rela kehilangan Baron. Kemudian setelah itu bongkar pasang personilpun tak terhindarkan lagi. Namun setelah hadirnya Hendy di album Next Chapter pada tahun 2006 Gigi terlihat mulai stabil kembali.
Bersamaan dengan Gigi di album yang ke enam, Budjana mencoba meneruskan cita-citanya yang dulu yaitu membuat album solo jazz. Sejak saat itu Budjana telah merilis sebanyak 4 album solo yang berjudul : Nusa Damai, Gitarku, Samsara dan Home. Home adalah sebuah album penghormatan kepada korban bencana tsunami yang terjadi pada bulan Desember tahun 2004. Di album "Samsara" , Budjana juga mulai melibatkan musisi luar seperti Peter Erskine (pemain drum dari grup musik Weather Report).Pada bulan Desember tahun 2007 .Budjana menggelar konser solonya untuk yang pertama kali dengan tema "Gitarku, "Hidupku"; "Kekasihku". Ditemani antara lain oleh : Adi Darmawan (bass), Sandy Winarta (Drum), Irsa Destiwi (Keyboard), Jalu D. Pratidina (Kendang) dan Saat pada (suling). Kemudian pada tahun 2010 Budjana menggelar lagi konser tunggalnya untuk yang ke dua kalinya dengan dibantu musisi-musisi antara lain : Sandy Winarta (drum), Shadu Shah Chaidar (bass), Irsa Destiwi (piano), Dandy Lasahido (keyboards), Saat (suling) dan Jalu Pratidina pada (perkusi).
Menurut pengamat musik Denny Sakrie gitar bagi Budjana adalah belahan jiwa bahkan gitar adalah refleksi sebuah harga diri atau kehormatan. Budjana dan gitarnya adalah sebuah senyawa yang tak terpisahkan. Ini diperlihatkan ketika menggelar konser tunggalnya di Gedung Kesenian Jakarta , yang dibarengi peluncuran buku Gitarku, Hidupku, Kekasihku. Kekuatan utama Budjana terletak pada serpihan komposisi yang kuat dan selalu menyusupkan tema tertentu serta menyusupkan roh yang kuat pula dalam pola permainan gitarnya. Kekaguman dan luapan rasa cinta Budjana terhadap sosok wanita juga sangat terasa dalam beberapa komposisi karyanya. Pada saat itu Budjana menggunakan 8 gitar kesayangannya, termasuk gitar Parker Fly yang diberinya nama Saraswati.
Trisum
Trisum awalnya terbentuk pada tahun 2004 dimana Budjana, Tohpati, dan Balawan tampil sepanggung dalam sebuah acara peluncuran produk. Setahun kemudian mereka bertiga tampil di pagelaran Java Jazz Festival dan ternyata mendapat sambutan yang sangat baik dari penonton. Mereka kembali tampil sepanggung dalam konser bertajuk Dialog Tiga Gitar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) pada akhir tahun 2005. Di konser inilah kiprah tiga gitaris handal ini semakin dikenal luas oleh publik, dimana selanjutnya mereka pun roadshow ke berbagai kota di Indonesia.
Sumber : Wikipedia
Informasi pribadi:
- Nama lahir : I Dewa Gede Budjana
- Nama lain : Dewa Budjana
- Lahir : 30 Agustus 1963 (umur 52)
- Pekerjaan : musisi
- Tahun aktif : 1980 - sekarang
- Pasangan : Putu Borawati
- Anak : Devananda, Dawainanda
- Situs web : dewa bujana official site
Ketertarikan dan bakat Dewa Budjana pada musik, khususnya gitar sudah sangat dominan, terlihat sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar di Klungkung Bali. Sampai-sampai, Budjana kecil pernah mencuri uang neneknya untuk sekedar memenuhi keinginannya membeli gitar pertamanya seharga 10.000 rupiah.
Sejak memiliki gitar pertama inilah yang membuat Budjana tidak lagi memiliki semangat untuk bersekolah, baginya gitar adalah nomor 1. Pada saat itu Budjana mempelajari sendiri teknik bermain gitar, dan dia mampu dengan cepat mahir mempelajari lagu Deddy Dores berjudul "Hilangnya Seorang Gadis" dan lagunya The Rollies berjudul "Setangkai Bunga", itupun disaat ia sama sekali belum tersentuh literatur-literatur musik(gitar) yang formal.
Budjana menjadi lebih bergairah dalam hal bermusik terlihat ketika dia pindah ke Surabaya, Jawa Timur di mana ia mengambil kursus musik klasik dan bergabung dengan sebuah band yang banyak berpartisipasi dalam pertunjukan musik. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas Budjana memutuskan hijrah ke Jakarta untuk mengejar mimpinya berkarier sebagai musisi profesional.
Perjalanan karier
Surabaya ke Jakarta
Pada tahun 1976 ketika menginjak usianya yang ke tiga belas, nama Budjana mulai terdengar di dunia musik di Surabaya. Kemudian, pada tahun 1981 dia membeli sebuah gitar listrik ( Aria Pro II) dan mulai bermain musik dengan banyak orang yang berbeda. Perlahan-lahan gaya musiknya mulai berubah dari rock, pop ke jazz. Saat itu ia mulai terpengaruh oleh John McLaughlin dari Mahavishnu Orchestra, Chick Corea, Gentle Giant, Kansas, Tangerine Dream, American Garage, Pat Metheny dan Allan Holdsworth.
Pada tahun 1980 Budjana mulai bergabung bersama Squirrel, band jazz pertama di sekolahnya di Surabaya. Squirrel sering ikut berpartisipasi dalam sejumlah acara musik nasional, termasuk Light Music Contest pada tahun 1984 di Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Meskipun banyak kontestan turut serta dalam ajang lomba tersebut namun Budjana sanggup mengungguli kompetisi tersebut dan terpilih menjadi pemain gitar terbaik. Satu tahun setelah itu, Budjana memutuskan untuk terbang ke Jakarta untuk mengembangkan karier musiknya. Perjalanan ini membawanya ke Jack Lesmana sebuah legenda jazz Indonesia, yang memperkenalkannya kepada musisi profesional lainnya. Dari ia Budjana banyak mengenal dan mendapatkan pengetahuan mengenai filosofi-filosofi dalam bermain jazz, termasuk tentu saja bermain standard jazz dengan lebih baik.
(1985-1993): Setelah di Jakarta
Meskipun Jack Lesmana memberikan Budjana banyak kesempatan dan peluang dalam karier bermusik di Indonesia namun Indralah yang pertama kali membujuknya untuk menjadi seorang session player. Setelah menjalani hidup di Jakarta Budjana akhirnya mulai beradaptasi dan banyak bergaul dengan musisi-musisi lokal yang baru ia kenal, bermain musik di kafe juga salah satu kegiatan rutinnya. Beruntung tidak berapa lama setelah itu Budjana mulai banyak mendapatkan tawaran untuk mengisi rekaman-rekaman kaset seperti pada album solo Indra Lesmana, Catatan si Boy II, Andre Hehanussa, Heidy Yunus, Memes, Chrisye, Mayangsari, Dewi Gita, Desy Ratnasari, Potret, Trakebah, Caesar (Deddy Dores), Nike Ardila dan lain-lain.
Beberapa tahun kemudian Budjana bergabung dengan Spirit band dan sempat merilis dua album bersama grup musik tersebut, yang pertama berjudul "Spirit" dan yang ke dua berjudul "Mentari". Beberapa tahun setelah itu Budjana memutuskan untuk keluar dari Spirit band dan bergabung dengan Java Jazz (Indra Lesmana). Ia juga sempat bermain dengan banyak band seperti Jimmy Manopo Band, Erwin Gutawa Orkestra, Elfa's Big Band dan Twilite Orchestra.
Di antara tahun 1989 - 1993 Budjana juga pernah membantu Indra Lesmana untuk mengajar di sekolah miliknya. Di sela-sela waktu mengajar itu kadang sering dipergunakan oleh Budjana untuk berlatih gitar secara trio atau jam session dengan siapapun di sekolah tersebut. Pada tahun 1993 Budjana bergabung dengan Indra Lesmana "Java Jazz" bersama Cendy Luntungan (drum) dan Jefrey Tahalele (bass akustik) dan sempat merilis satu album berjudul "Moon in Asia" atau "Bulan di Asia" dengan genre jazz yang agak progressive dicampur dengan sentuhan musik New Age. Bersama Java Jazz Budjana juga sering ikut berpartisipasi dalam banyak festival Jazz seperti North Sea Jazz Festival, World Jazz Convention di Den Haag, Belanda, Jak Jazz, Java Jazz festival dan banyak lagi.
(1994-kini): Bersama Gigi
"Gitarku……..hidupku" "Gitarku……..kekasihku" "Gitarku……..inspirasiku" "Gitarku……..karyaku" & "kupersembahkan gitarku."
Hingga saat ini Dewa Budjana masih bersama Gigi, band yang dibentuknya pada tahun 1994 bersama Baron (gitar), Thomas (bass), Armand Maulana (vokal) dan Ronald (drum). Sebelumnya pada tahun 1992 Budjana pernah menyampaikan keinginannya untuk membentuk grup musik dengan dua pemain gitar. Keinginannya tersebut baru terwujud dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1994. Dia membentuk band dengan formasi dua gitaris, berpasangan dengan Baron. Band itulah yang sekarang dikenal dengan nama GIGI. Awalnya perjalalanan Gigi terhitung cukup mulus, di albumnya yang ke dua yaitu "Dunia" Gigi sanggup mencentak penjualan yang cukup fantastis yaitu 400 ribu copy. Namun sayangnya setelah album tersebut Gigi harus rela kehilangan Baron. Kemudian setelah itu bongkar pasang personilpun tak terhindarkan lagi. Namun setelah hadirnya Hendy di album Next Chapter pada tahun 2006 Gigi terlihat mulai stabil kembali.
Bersamaan dengan Gigi di album yang ke enam, Budjana mencoba meneruskan cita-citanya yang dulu yaitu membuat album solo jazz. Sejak saat itu Budjana telah merilis sebanyak 4 album solo yang berjudul : Nusa Damai, Gitarku, Samsara dan Home. Home adalah sebuah album penghormatan kepada korban bencana tsunami yang terjadi pada bulan Desember tahun 2004. Di album "Samsara" , Budjana juga mulai melibatkan musisi luar seperti Peter Erskine (pemain drum dari grup musik Weather Report).Pada bulan Desember tahun 2007 .Budjana menggelar konser solonya untuk yang pertama kali dengan tema "Gitarku, "Hidupku"; "Kekasihku". Ditemani antara lain oleh : Adi Darmawan (bass), Sandy Winarta (Drum), Irsa Destiwi (Keyboard), Jalu D. Pratidina (Kendang) dan Saat pada (suling). Kemudian pada tahun 2010 Budjana menggelar lagi konser tunggalnya untuk yang ke dua kalinya dengan dibantu musisi-musisi antara lain : Sandy Winarta (drum), Shadu Shah Chaidar (bass), Irsa Destiwi (piano), Dandy Lasahido (keyboards), Saat (suling) dan Jalu Pratidina pada (perkusi).
Menurut pengamat musik Denny Sakrie gitar bagi Budjana adalah belahan jiwa bahkan gitar adalah refleksi sebuah harga diri atau kehormatan. Budjana dan gitarnya adalah sebuah senyawa yang tak terpisahkan. Ini diperlihatkan ketika menggelar konser tunggalnya di Gedung Kesenian Jakarta , yang dibarengi peluncuran buku Gitarku, Hidupku, Kekasihku. Kekuatan utama Budjana terletak pada serpihan komposisi yang kuat dan selalu menyusupkan tema tertentu serta menyusupkan roh yang kuat pula dalam pola permainan gitarnya. Kekaguman dan luapan rasa cinta Budjana terhadap sosok wanita juga sangat terasa dalam beberapa komposisi karyanya. Pada saat itu Budjana menggunakan 8 gitar kesayangannya, termasuk gitar Parker Fly yang diberinya nama Saraswati.
Trisum
Trisum awalnya terbentuk pada tahun 2004 dimana Budjana, Tohpati, dan Balawan tampil sepanggung dalam sebuah acara peluncuran produk. Setahun kemudian mereka bertiga tampil di pagelaran Java Jazz Festival dan ternyata mendapat sambutan yang sangat baik dari penonton. Mereka kembali tampil sepanggung dalam konser bertajuk Dialog Tiga Gitar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) pada akhir tahun 2005. Di konser inilah kiprah tiga gitaris handal ini semakin dikenal luas oleh publik, dimana selanjutnya mereka pun roadshow ke berbagai kota di Indonesia.
Sumber : Wikipedia