H. Umar Datuk Garang (1908 - 1986) adalah tokoh pejuang asal Sumatera Barat.Setelah menamatkan Sekolah Dasar, pemuda Umar melanjutkan ke pesantren Perguruan Thawalib di Parabek, kemudian ke Perguruan Thawalib di Batusangkar dan akhirnya pada tahun 1928 menamatkan Perguruan Thawalib di Padang Panjang, dan kemudian menjadi guru pada Madrasah Diniyah Limo Jurai Sungai Pua di samping bertugas sebagai Kadhi Nikah pada jorong Galung, Sungai Pua.
Pada waktu itu ia ikut bergerak dalam partai politik Permi (Persatuan Muslim Indonesia), dan sebagian besar lulusan Perguruan Thawalib kebanyakan menjadi anggota Permi.
Menikah dengan Jalilah binti Pakih Mahmud pada 1930 di Koto Musajik, Kepala Koto Sungai Pua, bergelar Sutan Saidi, dan berangkat ke Medan menjadi pengusaha/pedagang.
Oleh anak-kemenakan ia dalam tombak nan sabatang payuang nan sakaki, ia ditetapkan dengan suara bulat menjadi penghulu/ninik mamak bergelar Datuk Garang dalam suku Koto Gobah di Tanjung Gadang Galung, Sungai Pua. Upacara batagak penghulu tersebut terlaksana pada tahun 1933. Guna menunjang kehidupannya, baik sebagai kepala keluarga maupun sebagai pemangku adat, ia berusaha sebagai pedagang di Bukittinggi sampai zaman pendudukan Jepang.
Setelah Proklamasi kemerdekaan 1945, Pemerintah Pusat RI menginstruksikan supaya di tiap nagari, kabupaten dan provinsi dibentuk Komite Nasional. Nagari Sungai Pua pada waktu itu oleh penjajah Belanda dibagi dua nagari, yaitu Kapalo Koto dan Tangah Koto. Menurut instruksi Pemerintah Pusat RI karena Sungai Pua terdiri dari dua nagari, semestinya dua pula Komite nasionalnya, yaitu Komite Nasional Kapalo Koto dan Komite Nasional Tangah Koto. Tapi oleh pemuda progresif sokongan rakyat meinginkan hanya satu saja Komite Nasional, yaitu Komite Nasional Sungai Pua.
Terpilih sebagai Ketua Komite Sungai Puar berdasarkan rundingan pemuda progresif pada waktu itu, di samping ia seorang ulama juga seorang pemangku adat/penghulu, terkenal bersifat tenang menghadapi segala seuatu dan menyelesaikan sesuatu urusan dengan sebaik-baiknya.
Ia juga seorang orator/pandai berpidato. Dengan terpilihnya ia menjadi Ketua Komite Nasional, sekaligus tercakup putusan hanya satu saja Komite Nasional, yaitu Komite Nasional Sungai Pua.
Instruksi Pemerintah RI menggariskan bahwa suatu nagari harus memilih seorang kepala yang dinamakan Wali Nagari. Pada pemilihan Wali Nagari Sungai Pua di antara tiga calon, ialah yang mendapat suara terbanyak, hingga ia menjadi Wali Nagari Sungai Pua yang pertama.
Selama periode menjadi Wali nagari, telah berdiri “Bank Sungai Puar”, pembentukan Dewan Perwakilan Nagari (parlemen mini) dan Dewan Harian sebagai kabinet Wali Nagari. Kebersihan melalui Gotong Royong penduduk secara teratur tetap ia perhatikan, barbagai kasus yang datang kepada ia diselesaikan dengan baik serta bijaksana, sehingga tidak ada yang merasa kalah atau menang.
Setelah proklamasi RI ia menjadi anggota partai politik “Partai Sosialis Indonesia” (PSI Syahrir). Selama berkecamuknya agresi tentara Belanda (1948 – 1949) dimana semua Wali Nagari menjadi Wali Perang, ia menjadi Wali Perang Sungai Pua. Waktu itu Sungai Pua menjadi sasaran mesin perang tentara Belanda, termasuk front terdepan, banyak tentara RI ulang alik ke Sungai Pua, semua itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya.
Sesudah penyerahan kedaulatan (1950) ia ke Jakarta urusan keluarga. Beberapa bulan ia di Jakarta, suatu delegasi utusan nagari Sungai Pua datang dari kampung mengunjungi ia di Jakarta meminta kesediaan ia supaya kembali ke Sungai Pua meneruskan jabatan ia sebagai Wali Nagari. Delegasi diterima dan ia mengucapkan terima kasih, namun berbarengan dengan itu ia mengirimkan surat permohonan berhenti dari Jabatan Wali Nagari, dan menjadi pengusaha.
Selama di Jakarta ia dianggap sebagai orang yang dituakan dan selalu dimintai nasihat-nasihat untuk kemajuan organisasi yang berhubungan dengan Sungai Pua. Meninggal pada 8 Juli 1986 dengan meninggalkan seorang istri dan 7 orang anak (4 laki-laki & 3 perempuan).
Sumber : Wikipedia
Pada waktu itu ia ikut bergerak dalam partai politik Permi (Persatuan Muslim Indonesia), dan sebagian besar lulusan Perguruan Thawalib kebanyakan menjadi anggota Permi.
Menikah dengan Jalilah binti Pakih Mahmud pada 1930 di Koto Musajik, Kepala Koto Sungai Pua, bergelar Sutan Saidi, dan berangkat ke Medan menjadi pengusaha/pedagang.
Oleh anak-kemenakan ia dalam tombak nan sabatang payuang nan sakaki, ia ditetapkan dengan suara bulat menjadi penghulu/ninik mamak bergelar Datuk Garang dalam suku Koto Gobah di Tanjung Gadang Galung, Sungai Pua. Upacara batagak penghulu tersebut terlaksana pada tahun 1933. Guna menunjang kehidupannya, baik sebagai kepala keluarga maupun sebagai pemangku adat, ia berusaha sebagai pedagang di Bukittinggi sampai zaman pendudukan Jepang.
Setelah Proklamasi kemerdekaan 1945, Pemerintah Pusat RI menginstruksikan supaya di tiap nagari, kabupaten dan provinsi dibentuk Komite Nasional. Nagari Sungai Pua pada waktu itu oleh penjajah Belanda dibagi dua nagari, yaitu Kapalo Koto dan Tangah Koto. Menurut instruksi Pemerintah Pusat RI karena Sungai Pua terdiri dari dua nagari, semestinya dua pula Komite nasionalnya, yaitu Komite Nasional Kapalo Koto dan Komite Nasional Tangah Koto. Tapi oleh pemuda progresif sokongan rakyat meinginkan hanya satu saja Komite Nasional, yaitu Komite Nasional Sungai Pua.
Terpilih sebagai Ketua Komite Sungai Puar berdasarkan rundingan pemuda progresif pada waktu itu, di samping ia seorang ulama juga seorang pemangku adat/penghulu, terkenal bersifat tenang menghadapi segala seuatu dan menyelesaikan sesuatu urusan dengan sebaik-baiknya.
Ia juga seorang orator/pandai berpidato. Dengan terpilihnya ia menjadi Ketua Komite Nasional, sekaligus tercakup putusan hanya satu saja Komite Nasional, yaitu Komite Nasional Sungai Pua.
Instruksi Pemerintah RI menggariskan bahwa suatu nagari harus memilih seorang kepala yang dinamakan Wali Nagari. Pada pemilihan Wali Nagari Sungai Pua di antara tiga calon, ialah yang mendapat suara terbanyak, hingga ia menjadi Wali Nagari Sungai Pua yang pertama.
Selama periode menjadi Wali nagari, telah berdiri “Bank Sungai Puar”, pembentukan Dewan Perwakilan Nagari (parlemen mini) dan Dewan Harian sebagai kabinet Wali Nagari. Kebersihan melalui Gotong Royong penduduk secara teratur tetap ia perhatikan, barbagai kasus yang datang kepada ia diselesaikan dengan baik serta bijaksana, sehingga tidak ada yang merasa kalah atau menang.
Setelah proklamasi RI ia menjadi anggota partai politik “Partai Sosialis Indonesia” (PSI Syahrir). Selama berkecamuknya agresi tentara Belanda (1948 – 1949) dimana semua Wali Nagari menjadi Wali Perang, ia menjadi Wali Perang Sungai Pua. Waktu itu Sungai Pua menjadi sasaran mesin perang tentara Belanda, termasuk front terdepan, banyak tentara RI ulang alik ke Sungai Pua, semua itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya.
Sesudah penyerahan kedaulatan (1950) ia ke Jakarta urusan keluarga. Beberapa bulan ia di Jakarta, suatu delegasi utusan nagari Sungai Pua datang dari kampung mengunjungi ia di Jakarta meminta kesediaan ia supaya kembali ke Sungai Pua meneruskan jabatan ia sebagai Wali Nagari. Delegasi diterima dan ia mengucapkan terima kasih, namun berbarengan dengan itu ia mengirimkan surat permohonan berhenti dari Jabatan Wali Nagari, dan menjadi pengusaha.
Selama di Jakarta ia dianggap sebagai orang yang dituakan dan selalu dimintai nasihat-nasihat untuk kemajuan organisasi yang berhubungan dengan Sungai Pua. Meninggal pada 8 Juli 1986 dengan meninggalkan seorang istri dan 7 orang anak (4 laki-laki & 3 perempuan).
Sumber : Wikipedia