Ahmad Husein
Informasi Pribadi :
Ketua Dewan Banteng
Dewan Banteng yang dibentuk di Padang pada tanggal 20 Desember 1956 adalah cikal bakal dari PRRI, walaupun pada awalnya bertujuan membangun daerah yang dirasa tertinggal dibanding pembangunan di pulau Jawa. Dewan yang diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah itu diketuai oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein.
Dewan Banteng terbentuk setelah melalui dua kali pertemuan para perwira aktif maupun pensiunan yang berasal dari Divisi IX Banteng, suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang dibentuk pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda. Sebelumnya divisi yang telah dibubarkan pemerintah itu membawahi teritorial Sumatera Tengah (Sumbar, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi sekarang). Salah satu resimen Komando Divisi IX Banteng yaitu Resimen 6 dianggap sebagai pasukan terbaik di Sumatera.
Pertemuan pertama yang berlangsung di Jakarta pada 21 September 1956 dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang dari tanggal 20 sampai 24 November 1956 yang dihadiri 612 orang perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari divisi yang telah bubar itu. Pada tanggal 20 Desember 1956 terbentuklah Dewan Banteng yang dilandasi oleh keinginan untuk membangun daerah yang dirasa tertinggal.
Selain kesejahteraan rakyat yang diabaikan dan kondisi prajurit yang memprihatinkan, faktor lain yang juga menjadi pendorong terbentuknya dewan itu adalah ketidak puasan para perwira dan prajurit yang berasal dari Divisi IX Banteng yang dibubarkan pemerintahan pusat. Penciutan Komando Divisi IX Banteng menjadi Brigade Banteng lalu berlanjut menjadi Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang berkedudukan di Medan. Ahmad Husein-pun hanya menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.
Keberadaan Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan anggota Divisi Banteng, tapi juga oleh semua elemen masyarakat di Sumatera Tengah seperti partai politik, kaum ulama, intelektual, pemuda dan kaum adat, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi : "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Tuntutan Dewan Banteng
Pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang wajar, layak dan adil.
Dihapuskannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
Pembentukan kembali Komando Pertahanan Daerah dalam arti teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan merupakan komando utama dalam Angkatan Darat.
Ditetapkannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.
Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih jabatan Gubernur Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak mendapatkan hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatera Tengah yaitu Komando Militer Daerah Sumatera Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.
Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maluddin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Medan dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam keadaan Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memecat Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting. Selanjutnya langkah tersebut-pun diikuti oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.
Panglima PRRI
Tuntutan Dewan Banteng tentang otonomi, sistem pemerintahan desentralisasi, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang adil, penyerahan mandat Perdana Menteri Djuanda kepada Mohammad Hatta dan Hamengku Buwono IX, pembentukan zaken kabinet dan tuntutan agar Presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional serta beberapa tuntutan lainnya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Daerah Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tapi dipakai untuk pembangunan daerah. Bahkan Dewan Banteng juga melakukan barter hasil-hasil alam Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang didapat dari hasil bumi itu digunakan untuk pembangunan daerah. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berbeda dengan keadaan sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng dianggap sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu. Apa yang dilakukan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan daerah Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat menjadi tegang.
Setelah rapat di Sungai Dareh, Sumatera Tengah pada tanggal 9 Januari 1958, akhirnya Ahmad Husein membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958 dengan mengangkat Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri berikut kabinetnya. Sementara itu di Sulawesi Utara, Letnan Kolonel D.J. Somba mengikutinya dengan membentuk Gerakan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta).
Setelah melalui beberapa perundingan yang tidak menghasilkan kesepakatan ditengah situasi yang menegangkan akhirnya pemerintah mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk membungkam aspirasi daerah-daerah tersebut. Terjadilah perang saudara yang cukup banyak memakan korban jiwa di Sumatera Barat.
Sumber : Wikipedia
Informasi Pribadi :
- Tanggal lahir : 1 April 1925
- Meninggal : 28 November 1998 (umur 73)
- Kebangsaan : Indonesia
- Pekerjaan : Militer
- Dikenal karena : Pemimpin PRRI
- Agama : Islam
Ketua Dewan Banteng
Dewan Banteng yang dibentuk di Padang pada tanggal 20 Desember 1956 adalah cikal bakal dari PRRI, walaupun pada awalnya bertujuan membangun daerah yang dirasa tertinggal dibanding pembangunan di pulau Jawa. Dewan yang diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah itu diketuai oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein.
Dewan Banteng terbentuk setelah melalui dua kali pertemuan para perwira aktif maupun pensiunan yang berasal dari Divisi IX Banteng, suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang dibentuk pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda. Sebelumnya divisi yang telah dibubarkan pemerintah itu membawahi teritorial Sumatera Tengah (Sumbar, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi sekarang). Salah satu resimen Komando Divisi IX Banteng yaitu Resimen 6 dianggap sebagai pasukan terbaik di Sumatera.
Pertemuan pertama yang berlangsung di Jakarta pada 21 September 1956 dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang dari tanggal 20 sampai 24 November 1956 yang dihadiri 612 orang perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari divisi yang telah bubar itu. Pada tanggal 20 Desember 1956 terbentuklah Dewan Banteng yang dilandasi oleh keinginan untuk membangun daerah yang dirasa tertinggal.
Selain kesejahteraan rakyat yang diabaikan dan kondisi prajurit yang memprihatinkan, faktor lain yang juga menjadi pendorong terbentuknya dewan itu adalah ketidak puasan para perwira dan prajurit yang berasal dari Divisi IX Banteng yang dibubarkan pemerintahan pusat. Penciutan Komando Divisi IX Banteng menjadi Brigade Banteng lalu berlanjut menjadi Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang berkedudukan di Medan. Ahmad Husein-pun hanya menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.
Keberadaan Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan anggota Divisi Banteng, tapi juga oleh semua elemen masyarakat di Sumatera Tengah seperti partai politik, kaum ulama, intelektual, pemuda dan kaum adat, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi : "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Tuntutan Dewan Banteng
Pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang wajar, layak dan adil.
Dihapuskannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
Pembentukan kembali Komando Pertahanan Daerah dalam arti teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan merupakan komando utama dalam Angkatan Darat.
Ditetapkannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.
Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih jabatan Gubernur Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak mendapatkan hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatera Tengah yaitu Komando Militer Daerah Sumatera Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.
Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maluddin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Medan dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam keadaan Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memecat Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting. Selanjutnya langkah tersebut-pun diikuti oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.
Panglima PRRI
Tuntutan Dewan Banteng tentang otonomi, sistem pemerintahan desentralisasi, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang adil, penyerahan mandat Perdana Menteri Djuanda kepada Mohammad Hatta dan Hamengku Buwono IX, pembentukan zaken kabinet dan tuntutan agar Presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional serta beberapa tuntutan lainnya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Daerah Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tapi dipakai untuk pembangunan daerah. Bahkan Dewan Banteng juga melakukan barter hasil-hasil alam Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang didapat dari hasil bumi itu digunakan untuk pembangunan daerah. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berbeda dengan keadaan sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng dianggap sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu. Apa yang dilakukan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan daerah Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat menjadi tegang.
Setelah rapat di Sungai Dareh, Sumatera Tengah pada tanggal 9 Januari 1958, akhirnya Ahmad Husein membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958 dengan mengangkat Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri berikut kabinetnya. Sementara itu di Sulawesi Utara, Letnan Kolonel D.J. Somba mengikutinya dengan membentuk Gerakan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta).
Setelah melalui beberapa perundingan yang tidak menghasilkan kesepakatan ditengah situasi yang menegangkan akhirnya pemerintah mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk membungkam aspirasi daerah-daerah tersebut. Terjadilah perang saudara yang cukup banyak memakan korban jiwa di Sumatera Barat.
Sumber : Wikipedia